Kamis, 09 Mei 2013

MEMAHAMI TAHAP PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR UNTUK MENCIPTAKAN KURIKULUM YANG BERORIENTASI PADA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

Pendahuluan
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan.Kurikulum sebaiknya disusun berdasarkan tahapan perkembangan berpikir peserta didik.Kemampuan berpikir bila ditinjau dari sisi biologis tidak dapat terlepas dari perkembangan otak yang terdiri dari beberapa tahapan perkembangan. Adapun tahap-tahap perkembangan kemampuan berpikir manusia dapat dibedakan menjadi 7 tahap, yaitu: (1) Membangun suatu pemahaman, (2) Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui, (3) Meletakkan benda-benda secara bersamaan, (4) Ide yang simultan, (5) Hubungan superordinat/subordinat, (6) Penalaran yang berkombinasi, dan (7) Berpikir fleksibel (Lowery, 1998).
Dengan memahami ketujuh tahapan perkembangan kemampuan berpikir, diharapkan kita mampu menyusun suatu kurikulum menjadi lebih baik dengan mengutamakan pada kenyataan bagaimana manusia belajar dan pada perbedaan kemampuan intelektual siswa pada semua tingkatan, mulai dari kanak-kanak sampai pada tingkat kedewasaan.
 
Perkembangan Kemampuan Berpikir
Otak merupakan organ fisik yang pada saat kelahiran diperkirakan terdiri dari sekitar 100 miliar sel. Pada saat lahir massanya diperkirakan sekitar sepertiga massa sesungguhnya. Dalam dua tahun setelah kelahiran massanya akan meningkat dua kali lipat, dan lebih dari 15 tahun kemudian kebanyakan selnya akan berkembang hingga mencapai 600.000 sinapsis (koneksi antar sel saraf otak) antara satu sel dengan sel lainnya (Lowery, 1998).
 
Segera setelah konsepsi (fertilisasi), sel – sel otak mulai berkembang dalam laju yang menakjubkan. Permulaan yang dengan hanya sejumlah kecil sel pada ujung embrio, sebanyak 250.000 sel dihasilkan permenit dalam 20 minggu, dan setelah kelahiran, sekitar 200 miliar sel otak telah terbentuk (Syaifuddin, 2007).
 
Jumlah sel otak yang dihasilkan lebih dari yang dibutuhkan individu. Kelebihan produksi merupakan cara alamiah untuk memastikan bahwa tersedia jumlah sel yang cukup selama masa perkembangan yang di dalamnya terdapat sejumlah kemampuan untuk bertahan hidup. Sebelum lahir, tugas sel – sel otak adalah mengenal tubuh yang berkembang di sekitarnya.Sel – sel melakukan hal ini dengan mengirimkan sinyal keluar melalui konektor akson dan dendrit yang menghubungkan satu sel saraf dengan sel saraf lainnya. Kira-kira setengah dari sel ini mati sebelum waktunya lahir, kebanyakan karena gagal tersambung dengan beberapa bagian tubuh yang sedang berkembang, dan yang lainnya melalui proses pemangkasan yang mengeleminasi sinapsis neural yang rusak.
 
Selama kehamilan, terutama sekitar minggu ke-20, faktor resiko seperti defisiensi vitamin, rokok, alkohol, zat kimia tertentu, atau suhu yang terlalu tinggi dapat mencegah perkembangan neural atau menyebabkan kerusakan pada neuron dan sinapsisnya. Sel – sel otak menjadi semakin banyak setelah kelahiran, namun produksi berhenti sebelum akhir dari tahun pertama kehidupan. Setelah usia satu tahun, manusia tidak pernah memperoleh sel otak lainnya. Semua sel otak akan dibutuhkan dan akan tetap berada pada tempatnya. Namun, massa otak hanya sekitar sepertiga massa otak dewasa. Otak akan membesar setelah kelahiran karena sel otak membesar dan karena jaring – jarring sinapsis antara dan beberapa sel meningkat. Sinapsis baru terbentuk dan meningkat jumlahnya dalam otak sebagai akibat dari suatu pengalaman berpikir.

Berpikir
Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan.Tiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Berpikir adalah suatu aktifitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.Kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang kita kehendaki (Purwanto, 2006).
 
Ciri-ciri utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi.Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan.Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang hanya warna bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan.Sekarang warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok.Dengan demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan abstraksi – abstraksi.Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan pertalian antara abstraksi – abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tangapan memegang peranan penting dalam berpikir meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
 
Kebanyakan orang menganggap berpikir (thinking) dan otak (brain) adalah kata-kata yang bersinonim.Pemikir yang baik selalu dinyatakan “brainy”. Ketika orang-orang berkata,”Brains over brawn,” maka mereka dengan jelas menyamakan “brain” dengan berpikir cerdas. Seseorang yang “brainless” dianggap sebagai orang yang tidak memiliki intelejensi. Namun meskipun demikian, berdasarkan terminologi, “brain” dan “thinking” bukanlah sinonim. Kedua kata tersebut cukup berbeda.

Tahap Perkembangan Kemampuan Berpikir
 
Dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, manusia memasuki dunia ini dengan pemikiran sempit yang sedikit pemahamannya. Kebanyakan spesies burung, ikan, dan hewan lain terlahir dengan otak yang deprogram dengan informasi yang membuat mereka mampu bertahan hidup, mencari makanan dari alam, dan menghasilkan keturunan mereka. Sebagai contoh, beberapa burung yang bermigrasi dapat berjalan menuju lokasi yang tidak pernah mereka huni dengan tujuan mengubah kesempatan bertahan hidup menjadi lebih baik. Hewan lain juga berlaku sesuai dengan insting yang bebas berpikir. Namun, bayi manusia terlahir cukup tanpa pertolongan dimana ia harus membangun pengetahuannya tentang dunia dengan cara sendiri.
 
Dari sudut pandang biologi, merupakan suatu hal yang hebat bila individu tidak terlahir dengan pengetahuan awal (tanpa otak yang terprogram). Hal ini memperkuat kemampuan suatu spesies untuk bertahan hidup. Pada hakikatnya manusia menghasilkan keturunannya dalam situasi lingkungan tertentu, dan anak yang lahir akan mempelajari lingkungan melalui pengamatan dan berinteraksi di dalamnya. Bahkan hadir dalam kehidupan yang sudah dipersiapkan dengan pengetahuan awal, kita telah diberkahi dengan hadiah genetik yang luar biasa yaitu satu set kemampuan berpikir yang diprogram muncul berjarak dari waktu kelahiran. Kekuatan kemampuan ini terletak bahwa kemampuan ini memperbolehkan kita untuk belajar bagaimana bertahan hidup di lingkungan secara praktis.
 
Kemampuan ini seperti suatu seri peta transparan yang bertumpuk ke atas satu demi satu untuk menggambarkan suatu peningkatan kompleksitas permukaan, jalan, kota, rel kereta api, dan benua. Namun kemampuan yang dijelaskan dalam hal ini berupa peta tanpa konten/isi: judul, menggambarkan apa, dan kualitasnya tidak serta merta ada pada peta ini. Interaksi individual dengan lingkungannya secara bertahap akan terisi dan menjadi konten, awalnya pada satu peta dan kemudian pada peta lainnya.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, selanjutnya, dapat dibedakan tahapan berpikir dan belajar menjadi 7 tahapan (Lowery, 1998), yaitu:
Tahap 1 : Membangun suatu pemahaman
Cara berpikir dibangun selama tahap perkembangan kognitif pertama yang didapat melalui melakukan aktivitas “memperhatikan sesuatu” oleh anak. Ketika objek yang diberikan dimainkan, anak akan menjelajahi kemampuan “sesuatu pada satu waktu” mereka, diperagakan oleh tampilan perseptual mereka. Ketika anak telah selesai memperhatikan secara menyeluruh suatu benda, biasanya benda tersebut akan dibuang. Kemampuan berpikir pada tahapan ini lebih terutama kemampuan sensorik, dan tindakannya dilakukan terhadap satu objek pada satu waktu, tindakannya seperti melihat benda tersebut dan memperhatikan aspek warna, ukuran, dan bentuk; menyentuhnya dan merasakan tekstur dan kelenturannya; menekan, menarik, atau melempar benda tersebut dan menandai bagaimana benda tersebut menanggapi perlakuan; merasakan benda tersebut menandai rasanya, kelenturannya, dan teksturnya. Pengalaman ini menghasilkan suatu pemahaman fundamental yang berguna bagi tahapan selanjutnya. Secara biologis, kita menjalani tahapan membangun pemahaman mengenai lingkungan ini selama tiga tahun. Sebagai tambahan, otak didesain untuk mengkode kata dengan mudah di usia-usia permulaan kita. Anak akan mengkode sekitar 10 kata baru setiap hari selama usia dua sampai lima tahun. Balita dengan aktif dan giat membangun konsep dan mengelompokkan konsep tersebut menjadi kata-kata. Bahkan pada tahap awal ini, anak – anak dapat dilihat dengan sengaja menunjukkan proses inkuiri yang berkontribusi membangun pemahaman personal anak.

Tahap 2 : Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui
Tahap kedua dari perkembangkan kognitif mulai terjadi pada usia sekitar 3 tahun. Sekarang, ketika anak berpikir tentang suatu benda dan melakukan sesuatu terhadap benda itu, si anak akan mengelompokkannya berdasarkan bentuk, ukuran, warna, atau berdasarkan kriteria dasar lainnya. Rasional anak dalam mengelompokkan berasal dari pemahaman yang ia peroleh dari pengalaman sebelumnya. Dari tindakan ini, si anak membangun suatu konstruksi pemahaman mental tentang dunia dan bagaimana benda dan peristiwa saling berhubungan. Semua pemikiran si anak terbentuk oleh kemampuannya mencocokkan dua buah benda secara bersamaan berdasarkan dasar-dasar suatu atribut-atribut yang umum, atau mengkaitkan dua peristiwa berdasarkan dasar-dasar suatu hubungan. Hal ini berlanjut menjadi cara yang dominan saat anak berpikir dan menyelesaikan masalah sampai usia sekitar 6 tahun. Tahapan kemampuan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam membandingkan satu tindakan dengan tindakan lainnya, atau mengelompokkan benda secara berpasangan  berdasarkan dasar-dasar dari suatu properti seperti warna, bentuk, atau ukuran. Pemahaman ini selanjutnya menghasilkan perkembangan lebih lanjut dalam mengelompokkan sesuatu secara berpasangan.

Tahap 3 : Meletakkan benda-benda secara bersamaan
Tahapan selanjutnya dari perkembangan kognitif dimulai di usia 6 tahun sampai dengan 8 tahun. Susunan yang dibuat oleh anak akan dipergunakan dalam suatu set. Saat mengelompokkan benda, anak akan memberikan suatu aturan yang logis yang berlaku bagi semua benda dalam set tersebut. Kemampuan memilah pada tahapan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam mengelompokkan semua benda berdasarkan ciri-ciri dasar yang umum dari suatu atribut. Bila pengalaman awal telah banyak, anak-anak pada tahap ini telah masuk pada tahap pemahaman benda-benda yang mungkin untuk membangun suatu bangunan objek. Mereka memilah benda-benda untuk meningkatkan pemahaman. Namun, masing-masing pemilahan objek selalu berdasarkan ciri-ciri dari suatu benda, karena anak belum dapat memadukan  satu ciri-ciri dasar suatu benda pada satu waktu.  

Tahap 4 : Ide yang simultan
Saat anak-anak menunjukkan pemikirannya, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mampu memadukan lebih dari satu ide pada satu waktu, mereka telah memasuki tahap keempat dari perkembangan kognitifnya. Pada sebagian besar anak, tahap ini terjadi di usia 8 tahun dan berlanjut hingga usia 11 tahun. Pada tahap ini, siswa mampu mengklasifikasi suatu objek ke dalam lebih dari satu kategori dalam waktu yang bersamaan menjadi satu kategori berdasarkan dua atau lebih keadaan yang simultan. Siswa menyadari kesinambungan keadaan ini tidak terlepas dari objek dimana objek yang sekaligus berwarna coklat dan berbentuk persegi pada satu waktu lebih baik dari pada berwarna coklat lalu menjadi persegi. Susunan objek dan ide pada tahap berpikir ini menjadi lebih kompleks.
Walaupun anak-anak yang berusia lebih muda dapat menghasilkan hasil yang dicontohkan pada tahap ini, namun cara mereka untuk melakukannya cukup berbeda. Sebagai contoh, anak yang lebih kecil mungkin saja memilah dan mengelompokkan objek pertama berdasarkan warnanya, kemudian selanjutnya berdasarkan bentuknya. Sementara anak yang usianya lebih tua akan memilih objek yang benar dari kedua property sebelum memindahkannya.

Tahap 5 : Hubungan superordinat/subordinat
Berpikir tentang hubungan diantara objek-objek dan suatu konsep superordinatnya merupakan indicator dari tahapan perkembangan ini. Tahapan ini muncul di usia 11 tahun. Seperti berpikir menyadari bahwa satu kumpulan objek termasuk dalam kumpulan objek yang lainnya, kemudian semua objek dalam kelompok yang lebih kecil merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar. Kebalikannya, satu bagian dari kelas yang lebih luas terdiri dari semua kelas yang lebih kecil. Terdapat pengakuan bahwa keseluruhan sama dengan jumlah dari bagian-bagiannya. Hal ini merupakan contoh bahwa kelompok besar tidak akan pernah ada tanpa adanya kelompok-kelompok kecil.

Tahap 6 : Penalaran yang berkombinasi
Tahapan berikutnya berlangsung pada usia 14 tahun, dimana siswa menjadi lebih fleksibel dalam berpikir. Seseorang yang berada pada tahapan ini mampu mengelompokkan benda-benda berdasarka satu atribut atau lebih, kemudian mampu mengelompokkan ulang dengan cara yang berbeda, menyadari bahwa masing-masing cara mungkin untuk dilakukan pada waktu yang bersamaan, dan bahwa bagaimana cara mengelompokkan tergantung pada tujuan seseorang.

Tahap 7 : Berpikir fleksibel
Tahapan ketujuh ini muncul sekitar usia 16 tahun, siswa mampu membangun suatu kerangka berpikir suatu rasional logika mengenai hubungan di antara benda-benda atau di antara ide-ide yang ada, sedangkan pada saat yang sama menyadari bahwa susunan yang ada merupakan salah satu dari kemungkinan susunan yang bisa muncul dan mungkin berubah. Ciri utama dari tahap ini secara individual mampu mengelompokkan  dan mengelompokkan ulang benda atau ide menjadi suatu hirarki hubungan bertingkat.

Berpikir Kritis
Tidak dapat dipungkiri kalau sistem pendidikan seperti ini akan mematikan kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa. Pendidikan justru membawa para siswa menjadi ‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap lingkungannya sendiri karena hanya mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara mendalam dan mengkritisinya serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaranpelajaran tersebut tidak bermanfaat (Mustadji, 2004).
 
Salah satu kelemahan utama pendidikan kita adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau tahu apakah pengetahuan yang kita berikan diserap dengan baik atau tidak karena kita hanya menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu yang baru saja diajarkan kepada mereka. Dalam taxonomi Bloom tingkat belajar yang paling rendah adalah menghafal dan ini sudah menjadi pola belajar siswa kita bahkan sampai tingkat mahasiswa sekalipun. Bagaimana mungkin otak mereka mampu menyerap secara mendalam ilmu pengetahuan yang kita berikan karena terlalu banyaknya bahan pelajaran yang kita berikan, dengan demikian pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan dicerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keprihatinan yang luar biasa karena pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat bagi perkembangan anak didik.
 
Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti dan berubah sangat cepat. Berpikir kritis mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven D. Schafersman dalam Muwarni, 2006). Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan dengan tepat, memperoleh informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah informasi, alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas dengan sukses di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran kritis.
 
Dalam konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa hal (Soedijarto, 2004), diantaranya adalah (1) mendapat latihan berfikir secara kritis dan kreatif untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes, reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama dan lain lain, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik.
 
Pengembangan Kurikulum yang Berorientasi pada Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Sekolah adalah lembaga sosial yang keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial negara bangsa sangat strategis sejak industrialisasi dan gerakan negara kebangsaan pada abad ke-19, yang melahirkan negara-negara kebangsaan seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Italia, maupun Jepang. Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh perkembangan negara-negara kebangsaan tersebut yang, dalam sejarahnya merupakan proses menjadi satunya kerajaan-kerajaan kecil dari masing-masing negara tersebut, mengamanatkan perlunya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional melalui diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional (sekolah). Para pendiri Republik sadar akan adanya jurang antara kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang modern dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap dari warga masyarakat moderen. Dalam mengemban peranan sekolah sebagai pusat pembudayaan inilah kedudukan kurikulum sangatlah strategis. Karena proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap itu hanya dapat berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian hanya akan terjadi secara efisien, dan efektif melalui suatu sistem kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.
 
Menurut Nuryanti (2008), kalau kita kaji secara mendalam tujuan pendidikan yang selama ini dirumuskan, dalam berbagai UU pendidikan nasional kita, akan menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang : (1) religius dan bermoral; (2) yang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan; (3) yang sehat jasmani dan rohani; dan (4) yang berkepribadian dan bertanggung jawab. Keempat karakteristik manusia yang dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang Pendidikan Nasional tersebut hakekatnya karakteristik yang bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut ke dalam rumusan wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat dijadikan rujukan dalam proses perencanaan kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.

Proses Pembelajaran yang berorientasi pada peningkatakan kemampuan berpikir kritis
Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih (dalam Muwarni, 2006) adalah suatu penyelenggaraan belajar-mengajar, merupakan proses pendidikan kritis harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses tersebut. Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa.
 
Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang membangun kesadaran kritis, yaitu: (1) Belajar dari realitas atau pengalaman: yang diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung bukan pada retorika teoritik, (2) Tidak menggurui: guru dan murid samasama belajar, dan (3) Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain peran dsb dan menggunakan media (peraga, grafik, audio visual, dsb) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang.
 
Panduan proses belajar harus disusun dan dilaksanakan dalam suatu proses yang dikenal sebagai “daur belajar dari pengalaman yang distrukturkan” (structural experiences learning cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai dalam pembelajaran. Proses ini memungkinkan setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran kritis dengan cara terlibat didalamnya secara langsung ataupun tidak. Proses yang melibatkan setiap orang yang belajar itu adalah: (1) Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian, dll). Ini tahap proses mengalami, menggali pengalaman dengan cara melakukan kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya; (2) Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap berikutnya yaitu proses mengungkapkan/menyatakan kembali apa yang sudah dialami, bagaimana tanggapan, kesan atas pengalaman tersebut; (3) Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, system dari pokok pembahasan; (4) Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga terjadi pemahaman baru yang lebih utuh, berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum dari kajian atas pengalaman; (5) Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini adalah memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan pemahaman atau pengertian atas realitas tersebut, sehingga ada kemungkinan menciptakan realitas baru yang lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan cara merencanakan tindakan dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan. Proses pengalaman belumlah lengkap, sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam penerapan ini juga menimbulkan pengalaman baru. 
 
Proses pendidikan kritis untuk menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai jika guru menempatkan diri sebagai fasilitator yang siap untuk melayani siswa dalam belajar, bukan untuk menggurui dan berlaku sebagai satu-satunya sumber ilmu dan kebenaran. Dengan lebih banyak menggunakan metode ilmiah dan eksperimen agar siswa sebanyak mungkin merasakan dan mengalami dalam suasana yang dialogis.

DAFTAR PUSTAKA
Lowery, L. F. 1998. The Biologycal Basis of Thinking and Learning. Barkeley: Lawrence Hall of Science-University of California.

Munir. 2004. Kurikulum Berbasis TIK. Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.
 
Murwani, E. D. 2006. Peran Guru dalam Membangun Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur 6(1) hal. 59 – 68.
 
Mustaji. 2004. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.
 
Nuryanti. 2008. Filsafat Pendidikan Islam Tentang Kurikulum. Jurnal Hunafa 3(5) hal. 329-338
 
Purwanto, N. M. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
 
Rahmawati, T. D. 2009. Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah Matematika Di SMP Negeri 2 Malang. Diakses pada September 2012.
 
Soedijarto. 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional. Jurnal Pendidikan Penabur No. 03 hal. 89 – 107.
 
Syaifuddin. 2007. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC Buku Kedokteran.
 
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Raja Grafindo Persada.

1 komentar: