Minggu, 23 Juni 2013

MEKANISME BATUK

Batuk dalam bahasa latin disebut tussis adalah refleks yang dapat terjadi secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan mikroba. Batuk dapat terjadi secara sukarela maupun tanpa disengaja.

Batuk merupakan suatu tindakan refleks pada saluran pernafasan yang digunakan untuk membersihkan saluran udara atas. Batuk kronis berlangsung lebih dari 8 minggu yang umum di masyarakat. Penyebab termasuk merokok, paparan asap rokok, dan paparan polusi lingkungan, terutama partikulat.

Refleks Batuk
Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama; yaitu reseptor batuk, serabut saraf aferen, pusat batuk, susunan saraf  eferen dan efektor. Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor didapat di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga ditemui di saluran telinga, lambung, hilus, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma.

Serabut aferen terpenting ada pada cabang nervus vagus, yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan juga rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis, nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma.

Mekanisme Batuk
Pada dasarnya mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase kompresi dan fase ekspirasi (literatur lain membagi fase batuk menjadi 4 fase yaitu fase iritasi, inspirasi, kompresi, dan ekspulsi). Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara, kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara dalam kecepatan tertentu.

Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret akan lebih mudah.

Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan meningkat sampai 50 ­ 100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga dapat terjadi tanpa penutupan glotis.

ELEKTROLIT DAN FUNGSINYA BAGI TUBUH

Tubuh kita ini adalah ibarat suatu jaringan listrik yang begitu kompleks, didalamnya terdapat beberapa ‘pembangkit’ lokal seperti jantung, otak dan ginjal. Juga ada ‘rumah-rumah’ pelanggan berupa sel-sel otot. Untuk bisa mengalirkan listrik ini diperlukan ion-ion yang akan mengantarkan ‘perintah’ dari pembangkit ke rumah-rumah pelanggan. Ion-ion ini disebut sebagai elektrolit. Ada dua tipe elektrolit yang ada dalam tubuh, yaitu kation (elektrolit yang bermuatan positif) dan anion (elektrolit yang bermuatan negatif). Masing-masing tipe elektrolit ini saling bekerja sama mengantarkan impuls sesuai dengan yang diinginkan atau dibutuhkan tubuh.

Beberapa contoh kation dalam tubuh adalah Natrium (Na+), Kaalium (K+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan anion adalah Klorida (Cl-), HCO3-, HPO4-, SO4-. Dalam keadaan normal, kadar kation dan anion ini sama besar sehingga potensial listrik cairan tubuh bersifat netral. Pada cairan ektrasel (cairan diluar sel), kation utama adalah Na+ sedangkan anion utamanya adalah Cl-.. Sedangkan di intrasel (di dalam sel) kation utamanya adalah kalium (K+).

Disamping sebagai pengantar aliran listrik, elektrolit juga mempunyai banyak manfaat, tergantung dari jenisnya. Contohnya :
  • Natrium     : fungsinya sebagai  penentu utama osmolaritas dalam darah dan pengaturan volume ekstra sel.
  • Kalium       : fungsinya mempertahankan  membran potensial elektrik dalam tubuh.
  • Klorida      : fungsinya mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air pada berbagai cairan tubuh dan keseimbangan anion dan kation dalam cairan ekstrasel.
  • Kalsium     : fungsi utama kalsium adalah sebagai penggerak dari otot-otot, deposit utamanya berada di tulang dan gigi, apabila diperlukan, kalsium ini dapat berpindah ke dalam darah.
  • Magnesium : Berperan penting dalam aktivitas elektrik jaringan, mengatur pergerakan Ca2+ ke dalam otot serta memelihara kekuatan kontraksi jantung dan kekuatan pembuluh darah tubuh. 

Hiponatremia atau menurunnya kadar natrium dalam darah dapat disebabkan oleh kurangnya diet makanan yang mengandung natrium, sedang menjalankan terapi dengan obat diuretik (mengeluarkan air kencing dan elektrolit), terapi ini biasanya diberikan dokter kepada penderita hipertensi dan jantung, terutama yang disertai bengkak akibat tertimbunnya cairan. Muntah-muntah yang lama dan hebat juga dapat menurunkan kadar natrium darah, diare apabila akut memang dapat menyebabkan hipernatremia tapi apabila berlangsung lama dapat mengakibatkan hiponatremia, kondisi darah yang terlalu asam (asidosis) baik karena gangguan ginjal maupun kondisi lain misalnya diabetes juga dapat menjadi penyebab hiponatremia. Akibat dari hiponatremia sendiri relatif sama dengan kondisi hipernatremia, seperti kejang, gangguan otot dan gangguan syaraf.

Kondisi Hiperkalemia atau meningkatnya kadar kalium dalam darah menyebabkan gangguan irama jantung hingga berhentinya denyut jantung, Kondisi ini merupakan kegawatdaruratan yang harus segera diatasi karena mengancam jiwa. Beberapa hal yang menjadi penyebab meningkatnya kadar kalium adalah pemberian infus yang mengandung kalium, dehidrasi, luka bakar berat, kenjang, meningkatnya kadar leukosit darah, gagal ginjal, serangan jantung dan meningkatnya keasaman darah karena diabetes. Keadaan hiperkalemia ini biasanya diketahui dari keluhan berdebar akibat detak jantung yang tidak teratur, yang apabila dilakukan pemeriksaan rekam jantung menunjukkan gambaran yang khas.

Kondisi yang berkebalikan terjadi pada hipokalemia, penderita biasanya mengeluhkan badannya lemas dan tak bertenaga. Hal ini terjadi mengingat fungsi  kalium dalam menghantarkan aliran saraf di otot maupun tempat lain. Penyebab hipokalemia lebih bervariasi, penurunan konsumsi kalium akibat kelaparan yang lama dan pasca operasi yang tidak mendapatkan cairan mengandung kalium secara cukup adalah penyebab hipokalemia. Terapi insulin pada diabet dengan hiperglikemia, pengambilan glukosa darah ke dalam sel serta kondisi darah yang basa (alkalosis) menyebabkan kalim berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel tubuh.Akibatnya kalium dalam darah menjadi menurun

KULTUR JARINGAN


Kultur dapat didefinisikan sebagai teknik membudidayakan jaringan menjadi organisme yang utuh dan mempunyai sifat yang sama dengan induknya. Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.

Metode
Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan secara generatif. Bibit yang dihasilkan dari kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan, antara lain: mempunyai sifat yang identik dengan induknya, dapat diperbanyak dalam jumlah yang besar sehingga  tidak terlalu membutuhkan tempat yang luas, mampu menghasilkan bibit dengan jumlah besar dalam waktu yang singkat, kesehatan dan mutu bibit lebih terjamin, kecepatan tumbuh bibit lebih cepat dibandingkan dengan perbanyakan konvensional.

Teknik kultur jaringan memanfaatkan prinsip perbanyakan tumbuhan secara vegetatif. Berbeda dari teknik perbanyakan tumbuhan secara konvensional, teknik kultur jaringan dilakukan dalam kondisi aseptik di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu. Karena itu teknik ini sering kali disebut kultur in vitro. Dikatakan in vitro (bahasa Latin), berarti "di dalam kaca" karena jaringan tersebut dibiakkan di dalam botol kultur dengan medium dan kondisi tertentu. Teori dasar dari kultur in vitro ini adalah Totipotensi. Teori ini mempercayai bahwa setiap bagian tanaman dapat berkembang biak karena seluruh bagian tanaman terdiri atas jaringan-jaringan hidup. Oleh karena itu, semua organisme baru yang berhasil ditumbuhkan akan memiliki sifat yang sama persis dengan induknya.

Metode perbanyakan tanaman secara in vitro dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui perbanyakan tunas dari mata tunas apikal, melalui pembentukan tunas adventif, dan embriogenesis somatik, baik secara langsung maupun melalui tahap pembentukan kalus. Ada beberapa tipe jaringan yang digunakan sebagai eksplan dalam pengerjaan kultur jaringan. Pertama adalah jaringan muda yang belum mengalami diferensiasi dan masih aktif membelah (meristematik) sehingga memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Jaringan tipe pertama ini biasa ditemukan pada tunas apikal, tunas aksiler, bagian tepi daun, ujung akar, maupun kambium batang. Tipe jaringan yang kedua adalah jaringan parenkim, yaitu jaringan penyusun tanaman muda yang sudah mengalami diferensiasi dan menjalankan fungsinya. Contoh jaringan tersebut adalah jaringan daun yang sudah berfotosintesis dan jaringan batang atau akar yang berfungsi sebagai tempat cadangan makanan.

Tahapan Pelaksanaan Kultur Jaringan
Tahapan yang dilakukan dalam perbanyakan tanaman dengan teknik kultur jaringan adalah:
1)    Pembuatan media
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.  Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral, vitamin, dan hormon.  Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, dan lain-lain.  Zat pengatur tumbuh (hormon) yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan yang dilakukan.  Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.  Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan cara memanaskannya dengan autoklaf.

2)    Inisiasi
Inisiasi adalah pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur jaringan adalah tunas. 

3)    Sterilisasi
Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar flow dan menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada peralatan yang digunakan.  Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus steril. 

4)    Multiplikasi
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar flow untuk menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan eksplan.  Tabung reaksi yang telah ditanami ekplan diletakkan pada rak-rak dan ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.

5)    Pengakaran
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan mulai berjalan dengan baik.  Pengamatan dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri). 

6)    Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan aseptic ke bedeng. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan bibit generatif. 

Khusus berbicara tentang media yang merupakan faktor penentu dalam kultur jaringan, media tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan serta bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media kultur jaringan telah ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama media tumbuh untuk eksplan ini biasanya sesuai dengan nama penemunya. Media tumbuh untuk eksplan berisi kualitatif komponen bahan kimia yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam besarnya kadar untuk tiap-tiap persenyawaan. Media dasar yang sering digunakan dalam kultur jaringan Anthurium sendiri adalah media MS dan modifikasinya ( Pierik et al.,1974; Pierik dan Steegmans, 1976;Kunisaki, 1980; Kuenhle et al., 1992; Chen et al; Hamidah et al., 1997; Teng, 1997;2 ; Rachmawati, 2005), media Nitsch dan modifikasinya (Geir, 1986, 1987, 1988).

Pada umumnya komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari hormon (zat pengatur tumbuh) dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam tanah yang dikelompokkan ke dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik akan dapat kita peroleh bila, kedalam media tersebut, ditambahkan vitamin, asam amino, dan hormon, bahan pemadat media (agar), glukosa dalam bentuk gula maupun sukrosa, air destilata (akuades), dan bahan organik tambahan (Gunawan, 1992).

Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik selain dari nutrient yang dalam jumlah yang sedikit (1mM) dapat merangsang, menghambat, atau mengubah pola pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1979 dalam Gunawan, 1992). Zat pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan untuk mengendalikan dan mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan. Secara umum, zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin, dan giberelin.

Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1992) Contoh hormon kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol Acetid Acid (IAA), Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA). Golongan sitokinin berperan untuk menstimulus pembelahan sel dan merangsang pertumbuhan tunas pucuk. Menurut Gunawan (1992), golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah kinetin, ziatin, benzilaminopurine (BAP). Dan giberelin untuk diferensiasi atau perbanyakan fungsi sel, terutama pembentukan kalus. Hormon kelompok giberelin adalah GA3, GA2, dan GA1.

Penggunaan hormon tersebut harus tepat dalam perhitungan dosis pemakaian, karena jika terlalu banyak maupun terlalu sedikit dari dosis yang diperlukan justru akan menghambat bahkan berdampak negatif terhadap tanaman kultur. Karena interaksi antar hormon dalam suatu media sangat berpengaruh dalam diferensiasi sel.

Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in-vitro pada dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhakan di tanah. Unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman di lapangan merupakan kebutuhan pokok yang harus tersedia dalam media kultur jaringan. Antara lain adalah unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur-unsur hara tersebut diberikan dalam bentuk garam-garam mineral. Komposisi media dan perkembangannya didasarkan pada pendekatan masing-masing peneliti (Gunawan, 1992).

Unsur hara makro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak. Hara makro tersebut meliputi, Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Sulfur (S), Magnesium (Mg), dan Besi (Fe). Kegunaan unsur hara makro tersebut dalam kultur jaringan menurut Qosim, 2006 dalam Sukarasa, 2007 adalah sebagai berikut:
(1) Nitrogen (N) diberikan dalam bentuk NH4NO3, NH2PO4, NH2SO4.
Berfungsi untuk membentuk protein, lemak, dan berbagai senyawa organik lain, morfogenesis (pertumbuhan akar dan tunas), pertumbuhan dan pembentukan embrio, pembentukan embrio zigotik dan pertumbuhan vegetatif.

(2) Fosfor (P), diberikan dalam bentuk KH2PO4
Berfungsi untuk metabolisme energi, sebagai stabilitor membran sel, pengaturan metabolisme tanaman, pengaturan produksi pati/amilum, pembentukan karbohidrat, sangat penting dalam transfer energi, protein, dan sintesis asam amino serta konstribusi terhadap struktur dan asam nukleat.

(3) Kalium (K), diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O
Berfungsi untuk pemanjangan sel tanaman, memperkuat tubuh tanaman, memperlancar metabolisme dan penyerapan makanan, ion kalsium ditransfer secara cepat menyebrangi membran sel dan mengatur pH dan tekanan osmotik di antara sel.

(4) Kalsium (Ca), diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O
Berfungsi untuk merangsang bulu-bulu akar, penggandaan atau perbanyakan sel dan akar, pembentukan tabung polen, dinding dan membran sel lebih kuat, tahan terhadap serangan patogen, mengeraskan batang, memproduksi cadangan makanan.

(5) Sulfur (S)
Unsur S merupakan unsur yang penting untuk pembentukan beberapa jenis protein, seperti asam amino dan vitamin B1. Unsur S juga berperan penting dalam pembentukan bitil-bintil akar.

(6) Magnesium (Mg), diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O.
Berfungsi untuk meningkatkan kandungan fosfat, pembentukan protein.

(7) Besi (Fe), diberikan dalam bentuk Fe2(SO4)3;FeSO4.7H2O
Berfungsi sebagai penyangga (chelatin agent) yang sangat penting untuk menyangga kestabilan pH media selama digunakan untuk menumbuhkan jaringan tanaman.Pada tanaman, Fe berfungsi untuk pernapasan dan pembentukan hijau daun.

Unsur hara mikro adalah hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur hara mikro ini merupakan komponen sel tanaman yang penting dalam proses metabolisme dan proses fisioligi lainnya (Gunawan, 1992). Unsur hara mikro tersebut diantaranya adalah :
1.    Klor (Cl), diberikan dalam bentu KI.
2.    Mangan (Mn), diberikan dalam bentuk MnSO4.4H2O.
3.    Tembaga (Cu), diberikan dalam bentuk CuSO4.5H2O.
4.    Kobal (CO), diberikan dalam bentuk CoCl2.6H2O.
5.    Molibdenun (Mo), diberikan dalam bentuk NaMoO4.2H2O.
6.    Seng (Zn), diberikan dalam bentuk ZnSO4.4H2O.
7.    Boron (B), diberikan dalam bentuk H3BO3.

Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan tanaman adalah thiamine (vitamin B1), nicotinic acid (niacin), pyridoxine (vitamin B6). Thiamine merupakan vitamin yang esensial dalam kultur jaringan tanaman karena thiamine mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel. Vitamin C, seperti asam sitrat dan asam askorbat, kadang-kadang digunakan sebagai antioksidan untuk mencegah atau mengurangi pencoklatan atau penghitaman eksplan.

Mio-Inositol atau meso-insitol sering digunakan sebagai salah satu komponen media yang penting, karena terbukti bersinergis dengan zat pengaturtumbuh merangsang pertumbuhan jaringan yang dikulturkan (Yusnita, 2004).

Dalam media kultur jaringan, asam amino merupakan sumber nitrogen organik. Namun sumber N organik ini jarang ditambahkan dalam media kultur jaringan, karena sumber sumber nitrogen utamanya sudah tersedia dari NO3- dan NH4+. Asam amino yang sering digunakan adalah glisin, lysin dan threonine. Penambahan glisin dalam media dengan konsentrasi tertentu dapat melengkapi vitamin sebagai sumber bahan organik (Yusnita, 2004).

Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman kultur jaringan membutuhkan karbohidart yang cukup sebagai sumber energi. Menurut Gautheret dalam Gunawan (1992), sukrosa adalah sumber karbohidrat penghasil energi yang terbaik melebihi glukosa, maltosa, rafinosa. Namun jika tidak terdapat sukrosa, sumber karbohidrat tersebut dapat digantikan dengan gula pasir. Gula pasir cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur. Selain sebagai sumber energi, gula juga berfungsi sebagai tekanan osmotik media.

Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan atau terkena dengan medianya. Bahan pemadat media yang paling banyak digunakan adalah agar-agar. Agar-agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies algae. Dalam analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar mengandung sedikit unsur Ca, Mg, K, dan Na (Debergh, 1982 dalam Gunawan, 1992). Keuntungan dari pemakaian agar-agar adalah :
1.    Agar-agar membeku pada suhu 45° C dan mencair pada suhu 100° sehingga dalam kisaran suhu 
       kultur, agar-agar akan berada dalam keadaan beku yang stabil.
2.    Tidak dicerna oleh enzim tanaman.
3.    Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaa penyusun media.

Selain agar-agar, bahan pemadat media yang semakin banyak disukai adalah Gelrite TM (buatan Kelco). Gelrite adalah gellam gum, suatu hetero-polisakarida yang dihasilkan bakteri Pseudomonas elodea, terdiri dari molekul-molekul K-glukuronat, rhamnosa, dan selobiosa. Sebagai bahan pemadat media gelrite memiliki sifat-sifat yang menguntungkan sebagai berikut :
(1) Gelnya lebih jernih.
(2) Untuk memadatkan media dibutuhkan lebih sedikit daripada agar, sekitar 1,5 -3 g/l.
(3) Lebih murni dan konsisten dalam kualitas.
(4) Untuk mencapai kekerasan gel tertentu, pemakaian gelrite lebih rendah dari agar-agar, pada umumnya 2gr/l media. Namun kekerasan gel dari gelrite sangat dipengaruhi oleh kehadiran garam-garam seperti NaCl, KCl, MgCl2.6H2O dan CaCl2. Garam NaCl dan KCl menurunkan kekerasan gel, tetapi MgCl2 dan CaCl2 meningkatkan kekerasan gel (Gunawan, 1992; 57 ).

Salah satu kelemahan Gelrite adalah cenderung menaikkan kelembaban nisbi (RH) dalam kultur, sehingga sering menyebabkan terjadinya verifikasi. Gelrite jarang digunakan untuk produksi planlet secara komersial terutama di Indonesia karena harganya mahal (Yusnita, 2003).

Kultur yang kurang berhasil, kadang-kadang disebabkan oleh pemakaian air yang kurang murni (Wetherel, 1976). Tidak boleh sembarang air dapat digunakan untuk membuat media kultur. Contohnya air sumur atau air ledeng, dalam air tersebut mengandung banyak kontaminan, bahan inorganik, organik, atau mikroorganisme. Air yang digunakan untuk membuat media harus benar-benar berkualitas tinggi, karena air maliputi lebih adari 95% komponen media. Terhambatnya pertumbuhan tanaman yang dikulturkan dapat disebabkan oleh rendahnya kualitas air yang digunakan. Untuk menghindari hal tersebut, maka sebaiknya digunakan air yang telah dimurnikan atau yang sering kita sebut air destilata (akuades) atau air destilata ganda (akuabides). Dengan alasan ini, sebaiknya sebuah laboratorium kultur jaringan layaknya mempunyai alat penyulingan air (water destilator) atau setidaknya alat pembuat air bebas ion (deionizer). Cara kerja destilator dalam menghasilkan air destilata adalah dengan cara mengubah air menjadi uap air, kemudian mengkondensasikan uap air tersebut. Maka, jadilah air destilata yang tidak lagi berisi mineral atau senyawa organik (Yusnita, 2004).

Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau kebasaan larutan dalam air. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 – 6,0 (Daisy, 1994). Faktor pH dalam media juga perlu mendapat perhatian khusus. pH tesebut harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan beberapa fisiologi sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor:
(1) Kelarutan dari garam-garam penyusun media.
(2) Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam – garam lain.
(3) Efisiensi pembekuan agar-agar.

Menurut Gamborg dan Shyluk, 1981 dalam Gunawan, 1992, sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5,5–5,8. Pengaturan pH, biasa dilakukan dengan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-kadang KOH) atau HCL pada waktu semua komponen sudah dicampurkan.


Daftar Bacaan:
http://id.wikipedia.org/wiki/Kultur_jaringan
http://www.smallcrab.com/others/474-mengenal-kultur-jaringan
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/setjen/PUSSTAN/info_5_1_0604/isi_11.htm
http://biology-community.blogspot.com/2011/08/kultur-jaringan-tumbuhan.html






Kamis, 20 Juni 2013

PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM BIDANG STUDI BIOLOGI

Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam pembelajaran dikelas maupun tutorial. Model pembelajaran harus mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk tujuan-tujuan pembelajaran, lingkungan dan pengelolahan kelas. Melalui pembelajaran guru dapat membantu peserta didik mendapatkan informasi, ide, keterampilan, cara berfikir dan mengekpresikan ide. Juga berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran. Dalam dunia pendidikan pembelajaran kooperatif telah memiliki sejarah yang panjang sejak zaman dahulukala, para guru telah mendorong siswa-siswa mereka untuk bekerja sama dlam tugas-tugas kelompok tertentu dalam diskusi, debat, atau pelajaaran tambahan. Menurut beberapa ahli bahwa cooperative learning tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, akan tetapi sangat berguna untuk menumbuhkan berfikir kritis.
 


Berpikir kritis merupakan salah satu ciri manusia yang cerdas. Akan tetapi berpikir kritis akan terjadi apabila didahului dengan kesadaran kritis yang diharapkan dapat ditumbuh kembangkan melalui pendidikan. Disadari bahwa guru mengemban berbagai peran sebagai pembelajar di sekolah, khususnya perannya dalam membangun kesadaran kritis siswa.
 
Belajar mengajar akan mencapai titik optimal ketika guru dan murid mempunyai intensitas belajar yang tinggi dalam waktu yang bersamaan. Kedudukan guru dan siswa haruslah dianggap sejajar dalam belajar, jika kita memandang siswa adalah subyek pendidikan (Sumarsono, 1993). Guru dan siswa sama-sama belajar, kebenaran bukan mutlak di tangan guru. Guru harus memberi kesempatan seluas-luasnya bagi siswa untuk belajar dan memfasilitasinya agar siswa dapat mengaktualisasikan dirinya untuk belajar. Gurupun harus mengembangkan pengetahuannya secara meluas dan mendalam agar dapat memfasilitasi siswanya. Inilah peran guru dari guru.
 
Pembelajaran kooperatif adalah pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Kegiatan pembelajaran kooperatif yang berinti dalam belajar dalam suatu kerjasama akan menciptakan interaksi antar anggota kelompok yang mampu mengasah kemampuan berpikir siswa dengan menghindari ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan, yang nantinya dapat dijadikan dasar bertindak dan bersikap dalam kehidupan bermasyarakat.
 
Menurut Slavin (2005), pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran diman siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Sedangkan Sunal dan Hans (dalam Isjoni, 2009) mengemukakan pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk member dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama selama proses pembelajaran.
 
Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan paham konstruktivisme. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemapuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami  materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
 
Ada dua komponen pembelajaran kooperatif, yakni: (1) cooperative test atau tugas kerja sama dan (2) cooperative incentive structure, atau struktur insentif kerja sama. Tugas kerja sama berkenaan dengan suatu hal yang menyebabkan anggota kelompok kerja sama dalam menyelesaikan tugas yang diberikan. Sedangkan struktur insentif kerja sama merupakan sesuatu hal yang membangkitkan motivasi siwa untuk melakukan kerja sama dalam rangka mencapai tujuan kelompok tersebut. Pembelajaran kooperatif akan efektif digunakan apabila: (1) guru menekankan pentingnya usaha bersama di samping usaha individual, (2) guru menghendaki pemerataan perolehan hasil dalam belajar, (3) guru ingin menanamkan tutor sebaya atau belajar melalui teman sendiri, (4) guru menghendaki adanya pemerataan partisipasi aktif siswa, (5) guru menghendaki kemampuan siswa dalam memecahkan berbagai permasalahan (Rusman, 2010).

Unsur-unsur dasar dalam pembelajaran kooperatif menurut Lundgren (dalam Isjoni, 2009) sebagai berikut: (1) Para siswa memiliki persepsi bahwa mereka “tenggelam dan berenang bersama”; (2) Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab pada diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi; (3) Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama; (4) Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab di dalam kelompoknya; dan (5) Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

Tidak semua teknik dalam pembelajaran kooperatif sesuai untuk diaplikasikan pada pembelajaran Biologi. Beberapa teknik yang sesuai adalah sebagai berikut:

1)    Jigsaw
Teknik jigsaw adalah salah satu teknik cooperative learning yang pertama kali diterapkan oleh Aronson tahun 1971 dan dipublikasin tahun 1978. Pada awalnya penelitiannya kelas jigsaw ini dipakai untuk tujuan agar mengurangi rasa kompetisi pembelajar dan masalah ras yang terdapat di sebuah kelas yang berada di Austin, Texas. Kota texas ini termasuk mengalami masalah rasis yang sangat parah, dan itu pun memunculkan intervensi dari sekolah­sekolah untuk menghilangkan masalah tersebut. Didalam suatu kelas banyak pembelajar amerika keturunan afrika, keturunan hispanik (latin), dan pembelajar kulit putih amerika untuk yang pertama kalinya berada dalam sebuah kelas bersama­sama. Situasi semakin memanas dan mangancam lingkungan belajar mereka. Dan pada tahun 1971 Aronson dan beberapa lulusan pembelajar lainnya menciptakan jigsaw dan mencoba untuk menerapkannya didalam kelas. Dan usaha keras ini berhasil dengan sukses, pembelajar yang pada awalnya kurang berkomunikasi mulai berkomunikasi dan mulai bekerja sama. Eksperimen ini terdiri dari membentuk kelompok pembelajaran (kelompok jigsaw) dimana tiap pembelajar tergantung kepada anggota kelompoknya untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk lulus dalam ujian. Tanpa memandang ras, mereka digabungkan menjadi sebuah grup dan wajib berkerjasama diantara anggotanya agar mencapai sukses akademik. Ketika dibandingkan dengan kelas tradisional dimana pembelajar­pembelajar bersaing secara individu, pembelajar­pembelajar di dalam kelas jigsaw menunjukkan diskriminasi yang lebih rendah, timbulnya rasa percaya diri, dan prestasi akademik yang meningkat.

Dalam pelaksanaannya pola cooperative learning teknik jigsaw sangat fleksibel (cocok untuk semua kelas/tingkatan), juga untuk pembelajaran biologi. Dalam teknik ini guru memperhatikan skema atau latar belakang pengalaman pembelajar dan membantu pembelajar mengaktifkan skema ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna, pembelajar saling berkerja sama dalam suasana gotong royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.

Pada pembelajaran biologi, pembelajaran dengan teknik jigsaw dapat didesain sebagai berikut. Misal: Materi pelajaran Klasifikasi Vertebrata. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
  • Di awal kegiatan pembelajaran, guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan apersepsi mengenai materi Vertebrata.
  • Kelas dibagi menjadi kelompok-kelompok yang beranggotakan 5 orang. Selanjutnya setiap ketua kelompok mengambil undian bahan materi yang akan dibahas bersama kelompoknya. Undian telah disediakan oleh guru.
  • Masing-masing kelompok akan mendiskusikan materinya masing-masing (Kelompok Utama). Terdapat kelompok yang membahas Pisces, Amphibia, Reptilia, Aves, dan Mammalia. Masing-masing anggota kelompok juga memiliki tugas masing-masing. Untuk setiap topiknya, 1 orang membahas klasifikasi dan morfologi, 1 orang membahas sistem pencernaan, 1 orang membahas sistem pernafasan, 1 orang membahas sistem peredaran darah, dan 1 orang membahas sistem ekskresinya. Setiap anggota kelompok Utama menanggungjawabi pekerjaannya.
  • Selanjutnya, dari seluruh kelompok Utama, setiap siswa yang memiliki bahasan yang sama, berkumpul menjadi satu kelompok baru dan saling bertukar informasi (kelompok ahli). Akan terdapat 5 kelompok ahli, yaitu ahli klasifikasi dan morfologi, ahli sistem pencernaan, ahli sistem pernafasan, ahli sistem peredaran darah, dan ahli sistem ekskresi. Setelah proses pertukaran informasi dirasa cukup, masing-masing ahli kembali ke kelompok Utama.
  • Di kelompok Utama, masing-masing ahli menyampaikan informasi yang didapatkannya kepada anggota kelompok Utama. Hal ini dimaksudkan agar seluruh anggota kelompok mengetahui dan memahami materi secara keseluruhan.
  • Pada sesi terakhir, bila memungkinkan guru melakukan evaluasi berupa postes untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa dengan kegiatan belajar jigsaw.

2)    STAD
STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan rekan-rekan sejawatnya di Johns Hopkins University dan barangkali merupakan pendekatan cooperative learning yang paling sederhana dan paling mudah dipahami (Slavin, 2005). Guru yang menggunakan STAD dalam pembelajaran biologi menyajikan informasi akademis baru kepada siswa setiap minggu atau secara regular, baik melalui presentasi verbal atau teks. Siswa di kelas tertentu dibagi menjadi beberapa kelompok/tim belajar, dengan wakil-wakil dari kedua gender, dari berbagai kelompok rasial atau etnis, dan dengan prestasi rendah, rata-rata, dan tinggi. Anggota – anggota tim menggunakan worksheets atau alat belajar lain untuk menguasai berbagai materi akademis dan kemudian saling membantu untuk mempelajari berbagai materi melalui tutoring, saling memberikan kuis, atau melaksanakan diskusi tim. Secara individual, siswa diberi kuis mingguan atau dua mingguan tentang berbagai materi akademis. Kuis – kuis ini diskor dan masing-masing individu diberi “skor kemajuan”. Skor kemajuan bukan didasarkan pada skor absolute siswa, tetapi pada seberapa banyak skor itu bertambah dari rata-rata skor sebelumnya.
 
Seperti hasil penelitian tindakan kelas oleh Sugianto (2011) yang menerapkan pembelajaran kooperatif dengan teknik STAD pada materi ekosistem di kelas VII SMP. Langkah-langkahnya sebagai berikut:
  • Tahap penyajian materi
Guru memulai dengan menyampai indikator yang harus dicapai siswa pada hari itu dan memotivasi rasa ingin tahu siswa tentang materi ekosistem. Dilanjutkan dengan melakukan apersepsi dan mengingatkan siswa akan materi prasyarat  yang telah dipelajari agar siswa dapat menghubungkan materi yang akan disajikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
  • Tahap kegiatan kelompok
Pada tahap ini, siswa diberi lembar tugas sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok siswa saling berbagi tugas, saling membantu memberikan penyelesaian agar semua anggota kelompok dapat memahami materi ekosistem, dan satu lembar dikumpulkan sebagai hasil kerja kelompok. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator dan motivator kegiatan tiap kelompok.
  • Tahap tes individual
Tes individual dilakukan untuk melihat sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi ekosistem yang telah dipelajari. Tes dapat dilaksanakan pada khir pertemuan kedua dan ketiga, masing-masing selama 10 menit agar siswa dapat menunjukkan apa yang telah dipelajari secara individual selama bekerja dalam kelompok. Skor perolehan individu didata dan dikumpulkan sebagai bahan perhitungan perolehan skor kelompok.
  • Tahap penghitungan skor perkembangan individu
Penghitungan perkembangan skor individu dimaksudkan agar siswa terpacu untuk memperoleh prestasi yang lebih baik. Dilakukan dengan cara menjumlahkan masing-masing perkembangan skor individu (didapat dari nilai di semester sebelumnya atau penilaian pretest pada awal pertemuan) dan hasilnya dibagi sesuai jumlah anggota kelompok.
  • Tahap pemberian penghargaan kelompok
Pemberian penghargaan dilakukan berdasarkan perolehan skor rata-rata yang dikategorikan menjadi kelompok baik, kelompok hebat, dan kelompok super. Adapun criteria yang digunakan untuk menentukan pemberian penghargaan terhadap kelompok adalah sebagai berikut: (a) kelompok dengan skor rata-rata 15 sebagai kelompok baik, (b) kelompok dengan skor rata-rata 20 sebagai kelompok hebat, dan (c) kelompok dengan skor rata-rata 25 sebagai kelompok super.

3)    Make A Match
Model pembelajaran Make A Match (Mencari Pasangan) adalah suatu model pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar aktif dan bertujuan agar siswa mempunyai jiwa kemandirian dalam belajar serta menumbuhkan daya kreatifitas. Model ini juga sebagai model alternatif yang dianggap lebih memahami karakteristik siswa. Karakteristik yang dimaksud disini adalah bahwa siswa menyukai belajar sambil bermain. Dalam proses belajar mengajar, guru harus bisa membuat siswa merasa tertarik dan senang terhadap materi yang disampaikan sehingga nantinya tujuan pembelajaran dapat dicapai (Herdian dalam Putri, 2011).

Misal: penerapan teknik Make a Match pada materi ruang lingkup biologi. Langkah-langkah pembelajaran adalah sebagai berikut:
  • Guru melakukan apersepsi tentang materi pembelajaran dengan mengajak siswa untuk berpikir tentang pengertian biologi dan apa-apa saja yang dipelajari dalam biologi.
  • Guru menjelaskan karakteristik ilmu biologi yang ditentukan oleh objek-objek yang dipelajari dan permasalahannya serta tentang pemecahan masalah biologi dengan metode ilmiah, penelitian ilmiah, keterkaitan biologi dengan ilmu yang lain, serta manfaat dan bahaya perkembangan biologi. Seperti, biologi adalah ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup. 
  • Guru membagi kelas menjadi 4 kelompok, dimana kelompok pertama terdiri dari 8 orang sebagai kelompok pembawa kartu pertanyaan, kelompok kedua terdiri dari 8 orang sebagai kelompok pembawa kartu jawaban, dan kelompok ketiga dan keempat sebagai kelompok penilai. Masing-masing kelompok terdiri dari siswa berbeda jenis kelamin dan prestasi.
  • Guru meminta siswa melakukan kajian literatur (perkelompok).
  • Guru memberikan arahan tentang pembelajaran Make a Match dan mengawasi jalannya diskusi.
  • Guru meniup peluit sebagai tanda dimulainya diskusi, kelompok pembawa pertanyaan dan pembawa jawaban saling bergerak untuk menemukan pasangan pertanyaan dan jawaban. Setelah semua pertanyaan dan jawaban dipasangkan, maka secara berurutan pasangan-pasangan tersebut dipresentasikan di depan kelas untuk dinilai oleh tim penilai. Bila terdapat kekeliruan maka guru akan meluruskannya kembali.
  • Setelah satu babak, kartu dikumpulkan dan dikocok kembali. Sekarang merupakan giliran kelompok tiga dan empat menjadi kelompok pembawa pertanyaan dan pembawa jawaban, sementara kelompok pertama dan kedua menjadi kelompok penilai.
  • Guru meniup peluit kembali. Kelompok pembawa pertanyaan dan pembawa jawaban saling bergerak untuk menemukan pasangan pertanyaan dan jawaban. Setelah semua pertanyaan dan jawaban dipasangkan, maka secara berurutan pasangan-pasangan tersebut dipresentasikan di depan kelas untuk dinilai oleh tim penilai. Bila terdapat kekeliruan maka guru akan meluruskannya kembali.

4)    Two Stay Two Stray
Teknik pembelajaran Two Stay Two Stray dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992) dan bisa digunakan secara bersamaan dengan teknik Numbered Heads. Bukannya hanya pada bidang studi biologi, teknik ini juga bisa diterapkan pada semua bidang studi dan cocok pula untuk semua tingkatan usia anak didik. Teknik ini memberikan kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain.

Misal: penerapan teknik Two Stay Two Stray pada materi Protista. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
  • Di awal pembelajaran guru menyampaikan indikator yang harus dicapai siswa dan melakukan apersepsi untuk meningkatkan keingintahuan siswa mengenai protista.
  • Siswa dikelompokkan menjadi kelompok berempat.
  • Guru membagikan LKS mengenai materi (protista mirip hewan, protista mirip tumbuhan, dan protista mirip jamur). Setiap kelompok mendapatkan bahasan yang berbeda. Disini guru berperan sebagai fasilitator dengan menyediakan materi tambahan yang dibutuhkan oleh siswa.
  • Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok akan meninggalkan kelompoknya dan menuju ke kelompok-kelompok lain untuk membagikan informasi yang didapatkan. 
  • Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan informasi mereka kepada tamu mereka (dua orang dari kelompok lainnya).
  • Setelah proses pembagian hasil kerja dan informasi selesai, pihak tamu mohon diri dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan hasil temuan mereka dari kelompok yang mereka kunjungi.
  • Tiap kelompok membahas hasil-hasil kerja mereka.
  • Bila masih tersisa waktu, guru mengevaluasi hasil kerja siswa dengan melaksanakan postes untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa dengan teknik ini.

5)    Games Tournament
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan,melibatkan seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status. Tipe ini melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya,mengandung unsur permainan yang bisa menggairahkan semangat belajar dan mengandung reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kejujuran, kerja sama,persaingan sehat dan keterlibatan belajar.

Misal: penerapan teknik Games Tournament pada materi Pola-pola hereditas. Langkah – langkahnya sebagai berikut:
  • Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah,diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini ,siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang diberikan guru,karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
  • Kelompok ( team )
Kelompok biasanya terdiri atas empat sampai dengan lima orang siswa.Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
  • Game
Game terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor.Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu.Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapatkan skor.
  • Turnamen
Untuk memulai turnamen masing-masing peserta mengambil nomor undian. Siswa yang mendapatkan nomor terbesar sebagai reader 1,terbesar kedua sebagai chalennger 1,terbesar ketiga sebagai chalenger 2,terbesar keempat  sebagai chalenger 3.Dan kalau jumlah peserta dalam kelompok itu lima orang maka yang mendapatkan nomor terendah sebagai reader2.Reader 1 tugasnya membaca soal dan menjawab soal pada kesempatan yang pertama. Chalenger 1 tugasnya menjawab soal yang dibacakan oleh reader1 apabila menurut chalenger 1 jawaban reader 1 salah. Chalenger 2 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 tadi apabila jawaban reader 1 dan chalenger 1 menurut chalenger 2 salah. Chalenger 3 tugasnya adalah menjawab soal yang dibacakan oleh reader 1 apabila jawaban reader1,chalenger 1,chalenger 2 menurut chalenger 3 salah. Reader 2 tugasnya adalah membacakan kunci jawaban .Permainan dilanjutkan pada soal nomor dua.Posisi peserta berubah searah jarum jam.Yang tadi menjadi chalenger 1 sekarang menjadi reader1,chalenger 2 menjadi chalenger 1,chalenger3 menjadi chalenger 2,reader 2 menjadi chalenger 3 dan reader 1 menjadi reader2. Hal itu terus dilakukan sebanyak jumlah soal yang disediakan guru.
  • Penghargaan kelompok (team recognise)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang,masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan.

Minggu, 26 Mei 2013

MASUK ANGIN ATAU GAS BERLEBIH??

Masuk angin adalah suatu "penyakit" yang disebabkan karena berkumpulnya gas yang tidak merata di dalam tubuh. Masuk Angin diyakini menjadi penyakit yang nyata, namun saat ini belum ada bukti medis untuk mendukung klaim ini. Penyakit ini mirip influenza karena gejala dan penyebabnya hampir sama. Masuk angin biasanya dianggap sekadar mitos di dunia kedokteran tetapi kenyataannya banyak sekali penderitanya.

Hanya orang Indonesia yang menderita masuk angin sedangkan orang asing tidak pernah mengalaminya. Kalangan ekspatriat di Indonesia tentu bingung dengan istilah masuk angin, penyakit yang dipahami disebabkan angin yang masuk ke tubuh. Mereka baru mengerti setelah mendengar kata catching cold. Istilah masuk angin ini paling tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi catching cold. Dan masuk angin yang ini rupanya sering dibahas dalam forum kaum ekspatriat di internet.

Biasanya penyebab utamanya adalah udara dingin yang berlebihan. Contohnya adalah terlalu lama di ruangan AC, bermain hujan-hujanan, cuaca yang dingin, dan lainnya. Penyebab lainnya adalah terlalu banyak tertawa, salah makan, kurang kentut, atau karena terlalu lelah. Masyarakat langsung menyebut masuk angin setiap kali merasa badan tidak enak. Badan tidak enak yang dikarenakan masuk angin, umumnya terjadi di masa pergantian cuaca dari musim kemarau ke penghujan atau sebaliknya (pancaroba). Di masa peralihan itu angin seringkali bertiup kencang. Angin sering disalahkan karena masuk ke tubuh tanpa permisi dan menyebabkan badan terasa tak enak. Angin sering dituduh masuk ke tubuh tanpa permisi ketika tubuh terekspos angin yang bertiup kencang. Saat di musim bukan pancaroba pun "angin tak diundang" ini sering menghinggapi orang-orang tertentu. Penyakit ini acapkali singgah di tubuh orang yang sering begadang, kurang tidur atau kurang istirahat. Gara-gara angin, penderitanya jadi merasa tak enak badan ketika bangun di pagi hari.

Masuk angin sebenarnya merupakan kumpulan gejala yang terjadi akibat gabungan kelelahan fisik, terlambat makan, dan stres pikiran. Karena gabungan ketiga hal itu, terjadilah pembentukan gas berlebihan di lambung dan usus. Kemudian timbul perasaan penuh di usus lalu mulas, diikuti mual dan muntah. Kalau sudah begini, inilah yang disebut masuk angin.

Sebenarnya penyebabnya bukan cuaca dingin, bukannya anginlah yang memicu terjadinya masuk angin. Cuaca dingin yang menyergap tubuh menimbulkan mekanisme vasoconstriction atau penyempitan pembuluh darah. Sebenarnya penyempitan pembuluh darah ini merupakan mekanisme tubuh untuk menjaga agar tidak terjadi pengeluaran kalori berlebihan dari tubuh, sehingga tubuh tidak perlu mengalami penurunan suhu atau hipotermia. Namun, dampak kurang menyenangkan dari penyempitan pembuluh ini adalah peredaran darah menjadi kurang lancar. Akibatnya, hasil metabolisme, berupa asam laktat, terakumulasi pada otot-otot. Inilah yang membuat badan jadi terasa pegal-pegal. Cuaca dingin dapat menyebabkan rambut-rambut sel di saluran napas lambat bergerak. Padahal, mereka berfungsi untuk mengeluarkan lendir, bakteri, dan virus. Perlambatan ini juga menyebabkan seseorang menjadi rentan terkena infeksi seperti batuk, pilek, dan lain-lain.

Perihal perut kembung terisi gas, bisa terjadi akibat cuaca dingin yang menyebabkan perlambatan gerak peristaltik usus. Perlambatan inilah yang menyebabkan gas tertampung di saluran cerna, sehingga perut terasa kembung dan penuh (begah). Dan akhirnya perut akan tertekan oleh gas dan menyebabkan rasa mual sehingga menekan nafsu makan. Penderita masuk angin akan mengalami perut kembung, karena banyaknya gas yang berkumpul di dalam perut.

(Dari berbagai sumber)

MEKANISME DEMAM

Demam adalah keadaan ketika suhu tubuh meningkat melebihi suhu tubuh normal. Demam adalah istilah umum, dan beberapa istilah lain yang sering digunakan adalah pireksia atau febris. Apabila suhu tubuh sangat tinggi (mencapai sekitar 40°C), demam disebut hipertermi.

Demam dapat disebabkan gangguan otak atau akibat bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Zat yang dapat menyebabkan efek perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga menyebabkan demam disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa protein, pecahan protein, dan zat lain, terutama toksin polisakarida, yang dilepas oleh bakteri toksik atau pirogen yang dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama keadaan sakit.

Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap pirogen. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga zat pirogen leukosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 ketika sampai di hipotalamus akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan temperature tubuh dalam waktu 8 – 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endoroksin lipopolisakarida dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh dapat menyebabkan demam. Jumlah Interleukin-1. Yang di bentuk sebagai respon terhadap lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya beberapa nanogram.

Interleukin-1 menyebabkan demam, pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin E2 , atau zat yang mirip dan selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam. Ketika pembentukan prostaglandin di hambat oleh obat, demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang. Sebenarnya, hal ini mungkin sebagai penjelasan bagaimana cara aspirin menurunkan demam, karena aspirin mengganggu pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. Obat seperti aspirin yang menurunkan demam disebut antipiretik

Sumber : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton dan Hall Edisi 11

Kamis, 09 Mei 2013

KOMPETISI INTRASPESIFIK


Mahluk hidup tumbuh, berkembangbiak, mati, dan berpindah. Mahluk hidup dipengaruhi oleh kondisi dimana mereka hidup, dan oleh sumber daya yang mereka peroleh. Namun tidak ada organisme hidup terisolasi. Setiap individu, paling tidak sebagian hidupnya, merupakan anggota suatu populasi yang tersusun oleh individu dari spesiesnya sendiri.

Individu dari spesies yang sama memiliki kebutuhan yang sangat mirip dalam kelangsungan hidup, bertumbuh dan reproduksi; namun semua kebutuhan mereka untuk sebuah sumber daya dapat melebihi suplai yang ada sekarang. Individu kemudian bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut dan tak disangka, setidaknya beberapa mereka akan tersingkir. Bab ini fokus pada  karakteristik beberapa persaingan antar individu sejenis, dan efeknya terhadap individu yang sedang bersaing. Akan masuk akal, walaupun, memulai dengan suatu definisi operasional: persaingan adalah suatu interaksi antar individu, disebabkan oleh suatu kebutuhan bersama akan suatu sumber daya yang terbatas ketersediaannya, dan mengarah pada menurunnya kelangsungan hidup, bertumbuh dan/atau bereproduksi dari individu yang sedang bersaing terkait. Sekarang kita dapat melihat lebih dekat mengenai persaingan.

Misalkan, pada awalnya, suatu komunitas hipotetis sederhana: sebuah populasi belalang yang sedang berkembang (dalam satu spesies) sedang makan di suatu padang rumput (juga dalam satu spesies). Agar hidup sepenuhnya, belalang harus memakan rumput untuk melengkapi dirinya dengan energi dan material pembangun tubuh. Tapi dalam proses mencari dan memakan makanan, mereka juga menggunakan energi, dan memamerkan dirinya dalam resiko terhadap predator. Tiap belalang terkadang menjumpai dirinya pada suatu titik dimana sebelumnya terdapat sehelai daun, yang beberapa belalang lain telah memakannya. Ketika hal ini terjadi, belalang tersebut harus tetap bergerak, inipun menghabiskan lebih banyak energi, dan berjalan lebih baik dibanding jika pekerjaan tersebut telah dilakukan, sebelum belalang tersebut mengambil makanan. Dan lebih banyak lagi belalang yang bersaing untuk makanan, dan lebih sering ini terjadi. Namun meningkatnya penambahan energi, meningkatnya resiko kematian, dan menurunnya laju asupan makanan memungkinkan semua kesempatan bertahan hidup belalang menurun; sedangkan meningkatnya penambahan energi dan menurunnya asupan makanan dapat juga menyisakan sedikit energi yang tersedia untuk berkembang, dan sisa lainnya untuk bereproduksi. Sehingga, sejak kelangsungan hidup dan reproduksi menentukan kontribusi seekor belalang untuk generasi berikutnya, pesaing intraspesifik belalang selebihnya dalam mencari makanan, sama sedikitnya dengan kontribusi belalang tesebut.

Sepanjang kita membahas tentang rumput itu sendiri, kontribusi genetik individu pada generasi berikutnya akan bergantung pada keturunannya yang akhirnya akan berkembang menjadi dewasa yang reproduktif. Benih yang terisolir dalam tanah yang subur bisa memiliki kesempatan bertahan hidup yang sangat tinggi untuk menjadi dewasa yang reproduktif. Hal tersebut kemungkinan akan memperlihatkan suatu penambahan jumlah pertumbuhan ideal, dan karena itu mungkin akan menghasilkan sejumlah besar keturunan. Namun, benih yang tersebar dekat dengan tumbuhan tetangga (membayangi benih tersebut dengan daunnya dan menguasai lahan dengan akarnya) akan sangat kecil kemungkinan untuk bertahan, dan jika itu terjadi sebagian besar benih tentunya akan menjadi kerdil, dan menghasilkan sedikit bibit tumbuhan baru. Meningkatnya kepadatan selanjutnya akan menurunkan kontribusi yang diperbuat oleh tiap individu pada generasi berikutnya.

Karakteristik Umum Kompetisi Intraspesifik
Dengan jelas terdapat sejumlah karekteristik umum dari kedua kasus persaingan antar individu sejenis ini. Yang pertama bahwa efek utama dari persaingan adalah menurunnya kontribusi terhadap generasi berikutnya, dimana suatu penurunan tersebut dibandingkan dengan apa yang akan terjadi seandainya tidak pernah ada pesaing. Persaingan intraspesifik mengarah pada menurunnya laju asupan sumber daya per individu, bisa jadi terhadap menurunnya laju pertumbuhan atau perkembangan individu, atau menurunnya kelangsungan hidup dan/atau menurunnya produktifitas. Kelangsungan hidup dan produktifitas bersama-sama menentukan hasil reproduksi individual.

Karakteristik kedua dari persaingan intraspesifik bahwa sumber daya yang dibutuhkan individu yang bersaing haruslah suplainya terbatas. Sebagai contoh, oksigen, walaupun merupakan sumber daya yang sangat penting, bukan sesuatu untuk belalang atau rumput yang sedang bersaing, dimana suplai melebihi angka pada populasi terpadatpun dapat mengkonsumsinya. Hampir sama dengan cahaya, makanan, ruang atau sumber daya lainnya yang diperebutkan hanya bila dalam suplai terbatas.

Dalam banyak contoh, individu yang bersaing tidak berinteraksi secara langsung antara satu dengan yang lain. Melainkan, respon individu terhadap tingkatan suatu sumber daya yang telah ditekan oleh kehadiran dan aktivitas individu lain. Demikian hingga belalang yang bersaing untuk makan tidak secara langsung dipengaruhi oleh belalang lainnya, namun oleh penurunan tingkat ketersediaan makanan dan meningkatnya kesulitan menemukan makanan yang baik yang telah disisakan oleh yang lainnya. Demikian pula, tumbuhan rumput dirugikan oleh kehadiran tanaman tetangga karena daerah dimana sumber daya nutrisi berasal (cahaya, air, nutrien) telah tertumpang tindih oleh penguasaan lahan sumber daya dari tumbuhan tetangga. Pada semua kasus ini, persaingan dapat dijelaskan sebagai eksploitasi, dimana di dalamnya tiap individu dipengaruhi oleh jumlah sumber daya yang tersisa setelah sumber daya tersebut dieksploitasi oleh individu lainnya.

Namun pada banyak kasus lainnya, persaingan memiliki bentuk yang lain, dikenal sebagai interferensi. Disini individu berinteraksi secara langsung antara satu yang lainnya, dan satu individu akhirnya akan mencegah yang lain menempati suatu bagian habitat dan juga mencegah mengeksploitasi sumber daya di dalamnya. Dengan cepat hal ini terlihat paling banyak hewan mati karena mempertahankan daerah teritori: sering hasilnya bahwa daerah teritori itu sendiripun menjadi sumber daya. Interferensi dapat juga terjadi diantara organisme hewan lunak. Sebagai contoh, kehadiran kerang remis di bebatuan mencegah remis lainnya menempati posisi yang sama, bahkan meskipun suplai makan mereka pada posisi tersebut mungkin berlebih. Sesungguhnya, interferensi paling tersebar luas diantara hewan lunak dan tumbuhan yang hidup di tepian bebatuan: mereka kadang-kadang bersaing melalui kelebihan pertumbuhan satu individu oleh individu lainnya. Pada kasus tertentu efek persaingan cenderung nyata, dimana dalam banyak kasus eksploitasi, pengaruhnya kadang lebih samar. Dalam praktiknya, interferensi hampir selalui diikuti oleh suatu elemen eksploitasi, meskipun tentu saja terdapat banyak kasus eksploitasi terjadi tanpa interferensi.

Karakteristik ketiga dari persaingan intraspesifik ialah bahwa individu yang berkompetisi berada pada keseimbangan keberadaan, namun dalam praktiknya jauh lebih sedikit dari itu. Bukti nyata bahwa individu telah diklasifikasi dalam spesies yang sama menyiratkan bahwa mereka banyak memiliki ciri fisik mendasar pada umumnya, mereka pasti berharap menggunakan sumber daya yang sama dan bereaksi terhadap kondisi kebanyakan dengan cara yang sama pula. Namun kita harus waspada sejauh mana kita menekan pemikiran bahwa pengaruh antara individu yang bersaing bersifat dua arah. Terdapat banyak penempatan ketika persaingan antar individu sejenis hanya satu sisi: organisme yang kuat lebih dulu menghasilkan benih mungkin akan membayangi organisme pengganti yang tumbuh belakangan, dan briozoan yang lebih tua dan lebih lebar di tepian mungkin akan mengalami kelebihan pertumbuhan (atau namun lebih baik tumbuh berlebihan) daripada briozoan yang lebih kecil dan lebih muda. Lebih lanjut, perbedaan sifat yang diwarisi antara individu tentu saja memastikan bahwa interaksi kompetitif tidaklah bersifat dua arah. Contohnya genotif tinggi pada jagung biasanya akan mendominasi dan menutupi genotif pendek dari spesies yang sama. Karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa individu yang bersaing dari spesies yang sama berimbang secara keseluruhan. Apa kita dapat mengatakan bahwa anggota spesies yang sama lebih mirip daripada anggota spesies berbeda membutuhkan sumber daya yang sama, dan mereka lebih mirip bereaksi secara dua arah terhadap kehadiran satu sama lain.

Kekurangan ekuivalensi tertentu ini berarti bahwa pengaruh utama dari persaingan jauh dari kesamaan atau perbedaan individu. Pesaing yang lemah hanya bisa memberikan kontribusi kecil terhadap generasi selanjutnya, atau tidak tidak berkontribusi sama sekali. Pesaing yang kuat bisa memiliki kontribusinya yang pengaruhnya diabaikan. Sesungguhnya, pesaing yang kuat sebenarnya dapat membuat kontribusi proporsional yang lebih luas ketika terdapat persaingan hebat ketimbang tidak ada persaingan sama sekali (misalnya, jika ia mempertahankan kontribusinya sedangkan sekitarnya telah kehilangan kontribusinya). Dengan kata lain, walaupun pengaruh utama dari persaingan adalah menurunnya hasil reproduksi, ini tidak selalu berarti bahwa menurunkan potensi individual (misal kontribusi relatif), khususnya bukan untuk pesaing yang paling kuat. Karena itu, hal tersebut belum tentu benar untuk menyatakan bahwa persaingan berpengaruh merugikan terhadap semua individu yang sedang bersaing.

Terakhir, karakteristik keempat persaingan intraspesifik ialah bahwa efeknya pada individu lebih hebat, terdapat lebih banyak pesaing. Efek persaingan antar individu sejenis karenanya dikatakan menjadi kepadatan-ketergantungan. Untuk melihat lebih dekat mengenai persaingan antar individu sejenis, kita harus menguji efek kepadatan populasi terhadap individu, dan merinci efeknya terhadap kematian, kelahiran dan pertumbuhan.

MEMAHAMI TAHAP PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR UNTUK MENCIPTAKAN KURIKULUM YANG BERORIENTASI PADA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

Pendahuluan
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan.Kurikulum sebaiknya disusun berdasarkan tahapan perkembangan berpikir peserta didik.Kemampuan berpikir bila ditinjau dari sisi biologis tidak dapat terlepas dari perkembangan otak yang terdiri dari beberapa tahapan perkembangan. Adapun tahap-tahap perkembangan kemampuan berpikir manusia dapat dibedakan menjadi 7 tahap, yaitu: (1) Membangun suatu pemahaman, (2) Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui, (3) Meletakkan benda-benda secara bersamaan, (4) Ide yang simultan, (5) Hubungan superordinat/subordinat, (6) Penalaran yang berkombinasi, dan (7) Berpikir fleksibel (Lowery, 1998).
Dengan memahami ketujuh tahapan perkembangan kemampuan berpikir, diharapkan kita mampu menyusun suatu kurikulum menjadi lebih baik dengan mengutamakan pada kenyataan bagaimana manusia belajar dan pada perbedaan kemampuan intelektual siswa pada semua tingkatan, mulai dari kanak-kanak sampai pada tingkat kedewasaan.
 
Perkembangan Kemampuan Berpikir
Otak merupakan organ fisik yang pada saat kelahiran diperkirakan terdiri dari sekitar 100 miliar sel. Pada saat lahir massanya diperkirakan sekitar sepertiga massa sesungguhnya. Dalam dua tahun setelah kelahiran massanya akan meningkat dua kali lipat, dan lebih dari 15 tahun kemudian kebanyakan selnya akan berkembang hingga mencapai 600.000 sinapsis (koneksi antar sel saraf otak) antara satu sel dengan sel lainnya (Lowery, 1998).
 
Segera setelah konsepsi (fertilisasi), sel – sel otak mulai berkembang dalam laju yang menakjubkan. Permulaan yang dengan hanya sejumlah kecil sel pada ujung embrio, sebanyak 250.000 sel dihasilkan permenit dalam 20 minggu, dan setelah kelahiran, sekitar 200 miliar sel otak telah terbentuk (Syaifuddin, 2007).
 
Jumlah sel otak yang dihasilkan lebih dari yang dibutuhkan individu. Kelebihan produksi merupakan cara alamiah untuk memastikan bahwa tersedia jumlah sel yang cukup selama masa perkembangan yang di dalamnya terdapat sejumlah kemampuan untuk bertahan hidup. Sebelum lahir, tugas sel – sel otak adalah mengenal tubuh yang berkembang di sekitarnya.Sel – sel melakukan hal ini dengan mengirimkan sinyal keluar melalui konektor akson dan dendrit yang menghubungkan satu sel saraf dengan sel saraf lainnya. Kira-kira setengah dari sel ini mati sebelum waktunya lahir, kebanyakan karena gagal tersambung dengan beberapa bagian tubuh yang sedang berkembang, dan yang lainnya melalui proses pemangkasan yang mengeleminasi sinapsis neural yang rusak.
 
Selama kehamilan, terutama sekitar minggu ke-20, faktor resiko seperti defisiensi vitamin, rokok, alkohol, zat kimia tertentu, atau suhu yang terlalu tinggi dapat mencegah perkembangan neural atau menyebabkan kerusakan pada neuron dan sinapsisnya. Sel – sel otak menjadi semakin banyak setelah kelahiran, namun produksi berhenti sebelum akhir dari tahun pertama kehidupan. Setelah usia satu tahun, manusia tidak pernah memperoleh sel otak lainnya. Semua sel otak akan dibutuhkan dan akan tetap berada pada tempatnya. Namun, massa otak hanya sekitar sepertiga massa otak dewasa. Otak akan membesar setelah kelahiran karena sel otak membesar dan karena jaring – jarring sinapsis antara dan beberapa sel meningkat. Sinapsis baru terbentuk dan meningkat jumlahnya dalam otak sebagai akibat dari suatu pengalaman berpikir.

Berpikir
Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan.Tiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Berpikir adalah suatu aktifitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.Kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang kita kehendaki (Purwanto, 2006).
 
Ciri-ciri utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi.Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan.Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang hanya warna bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan.Sekarang warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok.Dengan demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan abstraksi – abstraksi.Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan pertalian antara abstraksi – abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tangapan memegang peranan penting dalam berpikir meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
 
Kebanyakan orang menganggap berpikir (thinking) dan otak (brain) adalah kata-kata yang bersinonim.Pemikir yang baik selalu dinyatakan “brainy”. Ketika orang-orang berkata,”Brains over brawn,” maka mereka dengan jelas menyamakan “brain” dengan berpikir cerdas. Seseorang yang “brainless” dianggap sebagai orang yang tidak memiliki intelejensi. Namun meskipun demikian, berdasarkan terminologi, “brain” dan “thinking” bukanlah sinonim. Kedua kata tersebut cukup berbeda.

Tahap Perkembangan Kemampuan Berpikir
 
Dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, manusia memasuki dunia ini dengan pemikiran sempit yang sedikit pemahamannya. Kebanyakan spesies burung, ikan, dan hewan lain terlahir dengan otak yang deprogram dengan informasi yang membuat mereka mampu bertahan hidup, mencari makanan dari alam, dan menghasilkan keturunan mereka. Sebagai contoh, beberapa burung yang bermigrasi dapat berjalan menuju lokasi yang tidak pernah mereka huni dengan tujuan mengubah kesempatan bertahan hidup menjadi lebih baik. Hewan lain juga berlaku sesuai dengan insting yang bebas berpikir. Namun, bayi manusia terlahir cukup tanpa pertolongan dimana ia harus membangun pengetahuannya tentang dunia dengan cara sendiri.
 
Dari sudut pandang biologi, merupakan suatu hal yang hebat bila individu tidak terlahir dengan pengetahuan awal (tanpa otak yang terprogram). Hal ini memperkuat kemampuan suatu spesies untuk bertahan hidup. Pada hakikatnya manusia menghasilkan keturunannya dalam situasi lingkungan tertentu, dan anak yang lahir akan mempelajari lingkungan melalui pengamatan dan berinteraksi di dalamnya. Bahkan hadir dalam kehidupan yang sudah dipersiapkan dengan pengetahuan awal, kita telah diberkahi dengan hadiah genetik yang luar biasa yaitu satu set kemampuan berpikir yang diprogram muncul berjarak dari waktu kelahiran. Kekuatan kemampuan ini terletak bahwa kemampuan ini memperbolehkan kita untuk belajar bagaimana bertahan hidup di lingkungan secara praktis.
 
Kemampuan ini seperti suatu seri peta transparan yang bertumpuk ke atas satu demi satu untuk menggambarkan suatu peningkatan kompleksitas permukaan, jalan, kota, rel kereta api, dan benua. Namun kemampuan yang dijelaskan dalam hal ini berupa peta tanpa konten/isi: judul, menggambarkan apa, dan kualitasnya tidak serta merta ada pada peta ini. Interaksi individual dengan lingkungannya secara bertahap akan terisi dan menjadi konten, awalnya pada satu peta dan kemudian pada peta lainnya.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, selanjutnya, dapat dibedakan tahapan berpikir dan belajar menjadi 7 tahapan (Lowery, 1998), yaitu:
Tahap 1 : Membangun suatu pemahaman
Cara berpikir dibangun selama tahap perkembangan kognitif pertama yang didapat melalui melakukan aktivitas “memperhatikan sesuatu” oleh anak. Ketika objek yang diberikan dimainkan, anak akan menjelajahi kemampuan “sesuatu pada satu waktu” mereka, diperagakan oleh tampilan perseptual mereka. Ketika anak telah selesai memperhatikan secara menyeluruh suatu benda, biasanya benda tersebut akan dibuang. Kemampuan berpikir pada tahapan ini lebih terutama kemampuan sensorik, dan tindakannya dilakukan terhadap satu objek pada satu waktu, tindakannya seperti melihat benda tersebut dan memperhatikan aspek warna, ukuran, dan bentuk; menyentuhnya dan merasakan tekstur dan kelenturannya; menekan, menarik, atau melempar benda tersebut dan menandai bagaimana benda tersebut menanggapi perlakuan; merasakan benda tersebut menandai rasanya, kelenturannya, dan teksturnya. Pengalaman ini menghasilkan suatu pemahaman fundamental yang berguna bagi tahapan selanjutnya. Secara biologis, kita menjalani tahapan membangun pemahaman mengenai lingkungan ini selama tiga tahun. Sebagai tambahan, otak didesain untuk mengkode kata dengan mudah di usia-usia permulaan kita. Anak akan mengkode sekitar 10 kata baru setiap hari selama usia dua sampai lima tahun. Balita dengan aktif dan giat membangun konsep dan mengelompokkan konsep tersebut menjadi kata-kata. Bahkan pada tahap awal ini, anak – anak dapat dilihat dengan sengaja menunjukkan proses inkuiri yang berkontribusi membangun pemahaman personal anak.

Tahap 2 : Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui
Tahap kedua dari perkembangkan kognitif mulai terjadi pada usia sekitar 3 tahun. Sekarang, ketika anak berpikir tentang suatu benda dan melakukan sesuatu terhadap benda itu, si anak akan mengelompokkannya berdasarkan bentuk, ukuran, warna, atau berdasarkan kriteria dasar lainnya. Rasional anak dalam mengelompokkan berasal dari pemahaman yang ia peroleh dari pengalaman sebelumnya. Dari tindakan ini, si anak membangun suatu konstruksi pemahaman mental tentang dunia dan bagaimana benda dan peristiwa saling berhubungan. Semua pemikiran si anak terbentuk oleh kemampuannya mencocokkan dua buah benda secara bersamaan berdasarkan dasar-dasar suatu atribut-atribut yang umum, atau mengkaitkan dua peristiwa berdasarkan dasar-dasar suatu hubungan. Hal ini berlanjut menjadi cara yang dominan saat anak berpikir dan menyelesaikan masalah sampai usia sekitar 6 tahun. Tahapan kemampuan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam membandingkan satu tindakan dengan tindakan lainnya, atau mengelompokkan benda secara berpasangan  berdasarkan dasar-dasar dari suatu properti seperti warna, bentuk, atau ukuran. Pemahaman ini selanjutnya menghasilkan perkembangan lebih lanjut dalam mengelompokkan sesuatu secara berpasangan.

Tahap 3 : Meletakkan benda-benda secara bersamaan
Tahapan selanjutnya dari perkembangan kognitif dimulai di usia 6 tahun sampai dengan 8 tahun. Susunan yang dibuat oleh anak akan dipergunakan dalam suatu set. Saat mengelompokkan benda, anak akan memberikan suatu aturan yang logis yang berlaku bagi semua benda dalam set tersebut. Kemampuan memilah pada tahapan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam mengelompokkan semua benda berdasarkan ciri-ciri dasar yang umum dari suatu atribut. Bila pengalaman awal telah banyak, anak-anak pada tahap ini telah masuk pada tahap pemahaman benda-benda yang mungkin untuk membangun suatu bangunan objek. Mereka memilah benda-benda untuk meningkatkan pemahaman. Namun, masing-masing pemilahan objek selalu berdasarkan ciri-ciri dari suatu benda, karena anak belum dapat memadukan  satu ciri-ciri dasar suatu benda pada satu waktu.  

Tahap 4 : Ide yang simultan
Saat anak-anak menunjukkan pemikirannya, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mampu memadukan lebih dari satu ide pada satu waktu, mereka telah memasuki tahap keempat dari perkembangan kognitifnya. Pada sebagian besar anak, tahap ini terjadi di usia 8 tahun dan berlanjut hingga usia 11 tahun. Pada tahap ini, siswa mampu mengklasifikasi suatu objek ke dalam lebih dari satu kategori dalam waktu yang bersamaan menjadi satu kategori berdasarkan dua atau lebih keadaan yang simultan. Siswa menyadari kesinambungan keadaan ini tidak terlepas dari objek dimana objek yang sekaligus berwarna coklat dan berbentuk persegi pada satu waktu lebih baik dari pada berwarna coklat lalu menjadi persegi. Susunan objek dan ide pada tahap berpikir ini menjadi lebih kompleks.
Walaupun anak-anak yang berusia lebih muda dapat menghasilkan hasil yang dicontohkan pada tahap ini, namun cara mereka untuk melakukannya cukup berbeda. Sebagai contoh, anak yang lebih kecil mungkin saja memilah dan mengelompokkan objek pertama berdasarkan warnanya, kemudian selanjutnya berdasarkan bentuknya. Sementara anak yang usianya lebih tua akan memilih objek yang benar dari kedua property sebelum memindahkannya.

Tahap 5 : Hubungan superordinat/subordinat
Berpikir tentang hubungan diantara objek-objek dan suatu konsep superordinatnya merupakan indicator dari tahapan perkembangan ini. Tahapan ini muncul di usia 11 tahun. Seperti berpikir menyadari bahwa satu kumpulan objek termasuk dalam kumpulan objek yang lainnya, kemudian semua objek dalam kelompok yang lebih kecil merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar. Kebalikannya, satu bagian dari kelas yang lebih luas terdiri dari semua kelas yang lebih kecil. Terdapat pengakuan bahwa keseluruhan sama dengan jumlah dari bagian-bagiannya. Hal ini merupakan contoh bahwa kelompok besar tidak akan pernah ada tanpa adanya kelompok-kelompok kecil.

Tahap 6 : Penalaran yang berkombinasi
Tahapan berikutnya berlangsung pada usia 14 tahun, dimana siswa menjadi lebih fleksibel dalam berpikir. Seseorang yang berada pada tahapan ini mampu mengelompokkan benda-benda berdasarka satu atribut atau lebih, kemudian mampu mengelompokkan ulang dengan cara yang berbeda, menyadari bahwa masing-masing cara mungkin untuk dilakukan pada waktu yang bersamaan, dan bahwa bagaimana cara mengelompokkan tergantung pada tujuan seseorang.

Tahap 7 : Berpikir fleksibel
Tahapan ketujuh ini muncul sekitar usia 16 tahun, siswa mampu membangun suatu kerangka berpikir suatu rasional logika mengenai hubungan di antara benda-benda atau di antara ide-ide yang ada, sedangkan pada saat yang sama menyadari bahwa susunan yang ada merupakan salah satu dari kemungkinan susunan yang bisa muncul dan mungkin berubah. Ciri utama dari tahap ini secara individual mampu mengelompokkan  dan mengelompokkan ulang benda atau ide menjadi suatu hirarki hubungan bertingkat.

Berpikir Kritis
Tidak dapat dipungkiri kalau sistem pendidikan seperti ini akan mematikan kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa. Pendidikan justru membawa para siswa menjadi ‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap lingkungannya sendiri karena hanya mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara mendalam dan mengkritisinya serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaranpelajaran tersebut tidak bermanfaat (Mustadji, 2004).
 
Salah satu kelemahan utama pendidikan kita adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau tahu apakah pengetahuan yang kita berikan diserap dengan baik atau tidak karena kita hanya menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu yang baru saja diajarkan kepada mereka. Dalam taxonomi Bloom tingkat belajar yang paling rendah adalah menghafal dan ini sudah menjadi pola belajar siswa kita bahkan sampai tingkat mahasiswa sekalipun. Bagaimana mungkin otak mereka mampu menyerap secara mendalam ilmu pengetahuan yang kita berikan karena terlalu banyaknya bahan pelajaran yang kita berikan, dengan demikian pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan dicerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keprihatinan yang luar biasa karena pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat bagi perkembangan anak didik.
 
Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti dan berubah sangat cepat. Berpikir kritis mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven D. Schafersman dalam Muwarni, 2006). Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan dengan tepat, memperoleh informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah informasi, alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas dengan sukses di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran kritis.
 
Dalam konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa hal (Soedijarto, 2004), diantaranya adalah (1) mendapat latihan berfikir secara kritis dan kreatif untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes, reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama dan lain lain, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik.
 
Pengembangan Kurikulum yang Berorientasi pada Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Sekolah adalah lembaga sosial yang keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial negara bangsa sangat strategis sejak industrialisasi dan gerakan negara kebangsaan pada abad ke-19, yang melahirkan negara-negara kebangsaan seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Italia, maupun Jepang. Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh perkembangan negara-negara kebangsaan tersebut yang, dalam sejarahnya merupakan proses menjadi satunya kerajaan-kerajaan kecil dari masing-masing negara tersebut, mengamanatkan perlunya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional melalui diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional (sekolah). Para pendiri Republik sadar akan adanya jurang antara kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang modern dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap dari warga masyarakat moderen. Dalam mengemban peranan sekolah sebagai pusat pembudayaan inilah kedudukan kurikulum sangatlah strategis. Karena proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap itu hanya dapat berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian hanya akan terjadi secara efisien, dan efektif melalui suatu sistem kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.
 
Menurut Nuryanti (2008), kalau kita kaji secara mendalam tujuan pendidikan yang selama ini dirumuskan, dalam berbagai UU pendidikan nasional kita, akan menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang : (1) religius dan bermoral; (2) yang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan; (3) yang sehat jasmani dan rohani; dan (4) yang berkepribadian dan bertanggung jawab. Keempat karakteristik manusia yang dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang Pendidikan Nasional tersebut hakekatnya karakteristik yang bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut ke dalam rumusan wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat dijadikan rujukan dalam proses perencanaan kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.

Proses Pembelajaran yang berorientasi pada peningkatakan kemampuan berpikir kritis
Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih (dalam Muwarni, 2006) adalah suatu penyelenggaraan belajar-mengajar, merupakan proses pendidikan kritis harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses tersebut. Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa.
 
Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang membangun kesadaran kritis, yaitu: (1) Belajar dari realitas atau pengalaman: yang diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung bukan pada retorika teoritik, (2) Tidak menggurui: guru dan murid samasama belajar, dan (3) Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain peran dsb dan menggunakan media (peraga, grafik, audio visual, dsb) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang.
 
Panduan proses belajar harus disusun dan dilaksanakan dalam suatu proses yang dikenal sebagai “daur belajar dari pengalaman yang distrukturkan” (structural experiences learning cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai dalam pembelajaran. Proses ini memungkinkan setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran kritis dengan cara terlibat didalamnya secara langsung ataupun tidak. Proses yang melibatkan setiap orang yang belajar itu adalah: (1) Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian, dll). Ini tahap proses mengalami, menggali pengalaman dengan cara melakukan kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya; (2) Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap berikutnya yaitu proses mengungkapkan/menyatakan kembali apa yang sudah dialami, bagaimana tanggapan, kesan atas pengalaman tersebut; (3) Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, system dari pokok pembahasan; (4) Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga terjadi pemahaman baru yang lebih utuh, berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum dari kajian atas pengalaman; (5) Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini adalah memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan pemahaman atau pengertian atas realitas tersebut, sehingga ada kemungkinan menciptakan realitas baru yang lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan cara merencanakan tindakan dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan. Proses pengalaman belumlah lengkap, sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam penerapan ini juga menimbulkan pengalaman baru. 
 
Proses pendidikan kritis untuk menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai jika guru menempatkan diri sebagai fasilitator yang siap untuk melayani siswa dalam belajar, bukan untuk menggurui dan berlaku sebagai satu-satunya sumber ilmu dan kebenaran. Dengan lebih banyak menggunakan metode ilmiah dan eksperimen agar siswa sebanyak mungkin merasakan dan mengalami dalam suasana yang dialogis.

DAFTAR PUSTAKA
Lowery, L. F. 1998. The Biologycal Basis of Thinking and Learning. Barkeley: Lawrence Hall of Science-University of California.

Munir. 2004. Kurikulum Berbasis TIK. Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.
 
Murwani, E. D. 2006. Peran Guru dalam Membangun Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur 6(1) hal. 59 – 68.
 
Mustaji. 2004. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.
 
Nuryanti. 2008. Filsafat Pendidikan Islam Tentang Kurikulum. Jurnal Hunafa 3(5) hal. 329-338
 
Purwanto, N. M. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
 
Rahmawati, T. D. 2009. Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah Matematika Di SMP Negeri 2 Malang. Diakses pada September 2012.
 
Soedijarto. 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional. Jurnal Pendidikan Penabur No. 03 hal. 89 – 107.
 
Syaifuddin. 2007. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC Buku Kedokteran.
 
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Raja Grafindo Persada.

UJIAN NASIONAL: ANTARA MADU DAN RACUN



Ujian Nasional (UN), suatu kebijakan standardisasi kemampuan akademik di Indonesia, merupakan topik yang selalu menjadi pembicaraan hangat beberapa tahun terakhir. Di satu sisi, UN memberikan standar evaluasi atas hasil belajar siswa selama belajar di setiap jenjang pendidikannya dalam skala nasional (SD, SMP, dan SMA). Namun, di sisi lain, UN menjadi momok menakutkan bagi para pesertanya, para guru, bahkan untuk kepala sekolah sendiri. Siswa yang memiliki sedikit persiapan akan menjadikan UN sebagai ajang sakral. Persiapan yang dilakukan bukanlah penguasaan materi yang akan diujikan, namun persiapan bersifat penguatan psikologis, seperti maraknya zikir akbar yang diadakan sekolah-sekolah menjelang berlangsungnya UN. Persiapan lainnya juga dapat dilihat dengan melacak “sumber kunci jawaban” baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam lingkungan sekolah pelaksana. Tidak sedikit peserta UN yang berani membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya. Sementara bagi guru, UN menjadi kunci keberhasilan kegiatan mengajar sepanjang tahun pembelajaran, gengsi bila ada siswa yang tidak lulus pada bidang studi yang diajarkannya. Maka, sang guru pun tak sungkan memberikan jawaban pada peserta UN, bahkan tak jarang terjadi, sang guru tak mengindahkan keberadaan pengawas ujian. Tak ubahnya dengan kepala sekolah, sudah menjadi rahasia umum, akan berupaya maksimal untuk meluluskan siswanya dalam setiap Ujian Nasional dengan berbagai cara. Kepala sekolah yang memimpin sekolah dengan persentase kelulusan yang rendah harus bersiap-siap angkat kaki dari sekolah tersebut untuk dipindahtugaskan ke sekolah lain karena dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya.