Ujian Nasional (UN), suatu kebijakan standardisasi kemampuan akademik di Indonesia, merupakan topik yang selalu menjadi pembicaraan hangat beberapa tahun terakhir. Di satu sisi, UN memberikan standar evaluasi atas hasil belajar siswa selama belajar di setiap jenjang pendidikannya dalam skala nasional (SD, SMP, dan SMA). Namun, di sisi lain, UN menjadi momok menakutkan bagi para pesertanya, para guru, bahkan untuk kepala sekolah sendiri. Siswa yang memiliki sedikit persiapan akan menjadikan UN sebagai ajang sakral. Persiapan yang dilakukan bukanlah penguasaan materi yang akan diujikan, namun persiapan bersifat penguatan psikologis, seperti maraknya zikir akbar yang diadakan sekolah-sekolah menjelang berlangsungnya UN. Persiapan lainnya juga dapat dilihat dengan melacak “sumber kunci jawaban” baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam lingkungan sekolah pelaksana. Tidak sedikit peserta UN yang berani membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya. Sementara bagi guru, UN menjadi kunci keberhasilan kegiatan mengajar sepanjang tahun pembelajaran, gengsi bila ada siswa yang tidak lulus pada bidang studi yang diajarkannya. Maka, sang guru pun tak sungkan memberikan jawaban pada peserta UN, bahkan tak jarang terjadi, sang guru tak mengindahkan keberadaan pengawas ujian. Tak ubahnya dengan kepala sekolah, sudah menjadi rahasia umum, akan berupaya maksimal untuk meluluskan siswanya dalam setiap Ujian Nasional dengan berbagai cara. Kepala sekolah yang memimpin sekolah dengan persentase kelulusan yang rendah harus bersiap-siap angkat kaki dari sekolah tersebut untuk dipindahtugaskan ke sekolah lain karena dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar