Minggu, 26 Mei 2013

MASUK ANGIN ATAU GAS BERLEBIH??

Masuk angin adalah suatu "penyakit" yang disebabkan karena berkumpulnya gas yang tidak merata di dalam tubuh. Masuk Angin diyakini menjadi penyakit yang nyata, namun saat ini belum ada bukti medis untuk mendukung klaim ini. Penyakit ini mirip influenza karena gejala dan penyebabnya hampir sama. Masuk angin biasanya dianggap sekadar mitos di dunia kedokteran tetapi kenyataannya banyak sekali penderitanya.

Hanya orang Indonesia yang menderita masuk angin sedangkan orang asing tidak pernah mengalaminya. Kalangan ekspatriat di Indonesia tentu bingung dengan istilah masuk angin, penyakit yang dipahami disebabkan angin yang masuk ke tubuh. Mereka baru mengerti setelah mendengar kata catching cold. Istilah masuk angin ini paling tepat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi catching cold. Dan masuk angin yang ini rupanya sering dibahas dalam forum kaum ekspatriat di internet.

Biasanya penyebab utamanya adalah udara dingin yang berlebihan. Contohnya adalah terlalu lama di ruangan AC, bermain hujan-hujanan, cuaca yang dingin, dan lainnya. Penyebab lainnya adalah terlalu banyak tertawa, salah makan, kurang kentut, atau karena terlalu lelah. Masyarakat langsung menyebut masuk angin setiap kali merasa badan tidak enak. Badan tidak enak yang dikarenakan masuk angin, umumnya terjadi di masa pergantian cuaca dari musim kemarau ke penghujan atau sebaliknya (pancaroba). Di masa peralihan itu angin seringkali bertiup kencang. Angin sering disalahkan karena masuk ke tubuh tanpa permisi dan menyebabkan badan terasa tak enak. Angin sering dituduh masuk ke tubuh tanpa permisi ketika tubuh terekspos angin yang bertiup kencang. Saat di musim bukan pancaroba pun "angin tak diundang" ini sering menghinggapi orang-orang tertentu. Penyakit ini acapkali singgah di tubuh orang yang sering begadang, kurang tidur atau kurang istirahat. Gara-gara angin, penderitanya jadi merasa tak enak badan ketika bangun di pagi hari.

Masuk angin sebenarnya merupakan kumpulan gejala yang terjadi akibat gabungan kelelahan fisik, terlambat makan, dan stres pikiran. Karena gabungan ketiga hal itu, terjadilah pembentukan gas berlebihan di lambung dan usus. Kemudian timbul perasaan penuh di usus lalu mulas, diikuti mual dan muntah. Kalau sudah begini, inilah yang disebut masuk angin.

Sebenarnya penyebabnya bukan cuaca dingin, bukannya anginlah yang memicu terjadinya masuk angin. Cuaca dingin yang menyergap tubuh menimbulkan mekanisme vasoconstriction atau penyempitan pembuluh darah. Sebenarnya penyempitan pembuluh darah ini merupakan mekanisme tubuh untuk menjaga agar tidak terjadi pengeluaran kalori berlebihan dari tubuh, sehingga tubuh tidak perlu mengalami penurunan suhu atau hipotermia. Namun, dampak kurang menyenangkan dari penyempitan pembuluh ini adalah peredaran darah menjadi kurang lancar. Akibatnya, hasil metabolisme, berupa asam laktat, terakumulasi pada otot-otot. Inilah yang membuat badan jadi terasa pegal-pegal. Cuaca dingin dapat menyebabkan rambut-rambut sel di saluran napas lambat bergerak. Padahal, mereka berfungsi untuk mengeluarkan lendir, bakteri, dan virus. Perlambatan ini juga menyebabkan seseorang menjadi rentan terkena infeksi seperti batuk, pilek, dan lain-lain.

Perihal perut kembung terisi gas, bisa terjadi akibat cuaca dingin yang menyebabkan perlambatan gerak peristaltik usus. Perlambatan inilah yang menyebabkan gas tertampung di saluran cerna, sehingga perut terasa kembung dan penuh (begah). Dan akhirnya perut akan tertekan oleh gas dan menyebabkan rasa mual sehingga menekan nafsu makan. Penderita masuk angin akan mengalami perut kembung, karena banyaknya gas yang berkumpul di dalam perut.

(Dari berbagai sumber)

MEKANISME DEMAM

Demam adalah keadaan ketika suhu tubuh meningkat melebihi suhu tubuh normal. Demam adalah istilah umum, dan beberapa istilah lain yang sering digunakan adalah pireksia atau febris. Apabila suhu tubuh sangat tinggi (mencapai sekitar 40°C), demam disebut hipertermi.

Demam dapat disebabkan gangguan otak atau akibat bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Zat yang dapat menyebabkan efek perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga menyebabkan demam disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa protein, pecahan protein, dan zat lain, terutama toksin polisakarida, yang dilepas oleh bakteri toksik atau pirogen yang dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama keadaan sakit.

Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap pirogen. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga zat pirogen leukosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 ketika sampai di hipotalamus akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan temperature tubuh dalam waktu 8 – 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endoroksin lipopolisakarida dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh dapat menyebabkan demam. Jumlah Interleukin-1. Yang di bentuk sebagai respon terhadap lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya beberapa nanogram.

Interleukin-1 menyebabkan demam, pertama-tama dengan menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin E2 , atau zat yang mirip dan selanjutnya bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam. Ketika pembentukan prostaglandin di hambat oleh obat, demam sama sekali tidak terjadi atau paling tidak berkurang. Sebenarnya, hal ini mungkin sebagai penjelasan bagaimana cara aspirin menurunkan demam, karena aspirin mengganggu pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. Obat seperti aspirin yang menurunkan demam disebut antipiretik

Sumber : Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Guyton dan Hall Edisi 11

Kamis, 09 Mei 2013

KOMPETISI INTRASPESIFIK


Mahluk hidup tumbuh, berkembangbiak, mati, dan berpindah. Mahluk hidup dipengaruhi oleh kondisi dimana mereka hidup, dan oleh sumber daya yang mereka peroleh. Namun tidak ada organisme hidup terisolasi. Setiap individu, paling tidak sebagian hidupnya, merupakan anggota suatu populasi yang tersusun oleh individu dari spesiesnya sendiri.

Individu dari spesies yang sama memiliki kebutuhan yang sangat mirip dalam kelangsungan hidup, bertumbuh dan reproduksi; namun semua kebutuhan mereka untuk sebuah sumber daya dapat melebihi suplai yang ada sekarang. Individu kemudian bersaing untuk mendapatkan sumber daya tersebut dan tak disangka, setidaknya beberapa mereka akan tersingkir. Bab ini fokus pada  karakteristik beberapa persaingan antar individu sejenis, dan efeknya terhadap individu yang sedang bersaing. Akan masuk akal, walaupun, memulai dengan suatu definisi operasional: persaingan adalah suatu interaksi antar individu, disebabkan oleh suatu kebutuhan bersama akan suatu sumber daya yang terbatas ketersediaannya, dan mengarah pada menurunnya kelangsungan hidup, bertumbuh dan/atau bereproduksi dari individu yang sedang bersaing terkait. Sekarang kita dapat melihat lebih dekat mengenai persaingan.

Misalkan, pada awalnya, suatu komunitas hipotetis sederhana: sebuah populasi belalang yang sedang berkembang (dalam satu spesies) sedang makan di suatu padang rumput (juga dalam satu spesies). Agar hidup sepenuhnya, belalang harus memakan rumput untuk melengkapi dirinya dengan energi dan material pembangun tubuh. Tapi dalam proses mencari dan memakan makanan, mereka juga menggunakan energi, dan memamerkan dirinya dalam resiko terhadap predator. Tiap belalang terkadang menjumpai dirinya pada suatu titik dimana sebelumnya terdapat sehelai daun, yang beberapa belalang lain telah memakannya. Ketika hal ini terjadi, belalang tersebut harus tetap bergerak, inipun menghabiskan lebih banyak energi, dan berjalan lebih baik dibanding jika pekerjaan tersebut telah dilakukan, sebelum belalang tersebut mengambil makanan. Dan lebih banyak lagi belalang yang bersaing untuk makanan, dan lebih sering ini terjadi. Namun meningkatnya penambahan energi, meningkatnya resiko kematian, dan menurunnya laju asupan makanan memungkinkan semua kesempatan bertahan hidup belalang menurun; sedangkan meningkatnya penambahan energi dan menurunnya asupan makanan dapat juga menyisakan sedikit energi yang tersedia untuk berkembang, dan sisa lainnya untuk bereproduksi. Sehingga, sejak kelangsungan hidup dan reproduksi menentukan kontribusi seekor belalang untuk generasi berikutnya, pesaing intraspesifik belalang selebihnya dalam mencari makanan, sama sedikitnya dengan kontribusi belalang tesebut.

Sepanjang kita membahas tentang rumput itu sendiri, kontribusi genetik individu pada generasi berikutnya akan bergantung pada keturunannya yang akhirnya akan berkembang menjadi dewasa yang reproduktif. Benih yang terisolir dalam tanah yang subur bisa memiliki kesempatan bertahan hidup yang sangat tinggi untuk menjadi dewasa yang reproduktif. Hal tersebut kemungkinan akan memperlihatkan suatu penambahan jumlah pertumbuhan ideal, dan karena itu mungkin akan menghasilkan sejumlah besar keturunan. Namun, benih yang tersebar dekat dengan tumbuhan tetangga (membayangi benih tersebut dengan daunnya dan menguasai lahan dengan akarnya) akan sangat kecil kemungkinan untuk bertahan, dan jika itu terjadi sebagian besar benih tentunya akan menjadi kerdil, dan menghasilkan sedikit bibit tumbuhan baru. Meningkatnya kepadatan selanjutnya akan menurunkan kontribusi yang diperbuat oleh tiap individu pada generasi berikutnya.

Karakteristik Umum Kompetisi Intraspesifik
Dengan jelas terdapat sejumlah karekteristik umum dari kedua kasus persaingan antar individu sejenis ini. Yang pertama bahwa efek utama dari persaingan adalah menurunnya kontribusi terhadap generasi berikutnya, dimana suatu penurunan tersebut dibandingkan dengan apa yang akan terjadi seandainya tidak pernah ada pesaing. Persaingan intraspesifik mengarah pada menurunnya laju asupan sumber daya per individu, bisa jadi terhadap menurunnya laju pertumbuhan atau perkembangan individu, atau menurunnya kelangsungan hidup dan/atau menurunnya produktifitas. Kelangsungan hidup dan produktifitas bersama-sama menentukan hasil reproduksi individual.

Karakteristik kedua dari persaingan intraspesifik bahwa sumber daya yang dibutuhkan individu yang bersaing haruslah suplainya terbatas. Sebagai contoh, oksigen, walaupun merupakan sumber daya yang sangat penting, bukan sesuatu untuk belalang atau rumput yang sedang bersaing, dimana suplai melebihi angka pada populasi terpadatpun dapat mengkonsumsinya. Hampir sama dengan cahaya, makanan, ruang atau sumber daya lainnya yang diperebutkan hanya bila dalam suplai terbatas.

Dalam banyak contoh, individu yang bersaing tidak berinteraksi secara langsung antara satu dengan yang lain. Melainkan, respon individu terhadap tingkatan suatu sumber daya yang telah ditekan oleh kehadiran dan aktivitas individu lain. Demikian hingga belalang yang bersaing untuk makan tidak secara langsung dipengaruhi oleh belalang lainnya, namun oleh penurunan tingkat ketersediaan makanan dan meningkatnya kesulitan menemukan makanan yang baik yang telah disisakan oleh yang lainnya. Demikian pula, tumbuhan rumput dirugikan oleh kehadiran tanaman tetangga karena daerah dimana sumber daya nutrisi berasal (cahaya, air, nutrien) telah tertumpang tindih oleh penguasaan lahan sumber daya dari tumbuhan tetangga. Pada semua kasus ini, persaingan dapat dijelaskan sebagai eksploitasi, dimana di dalamnya tiap individu dipengaruhi oleh jumlah sumber daya yang tersisa setelah sumber daya tersebut dieksploitasi oleh individu lainnya.

Namun pada banyak kasus lainnya, persaingan memiliki bentuk yang lain, dikenal sebagai interferensi. Disini individu berinteraksi secara langsung antara satu yang lainnya, dan satu individu akhirnya akan mencegah yang lain menempati suatu bagian habitat dan juga mencegah mengeksploitasi sumber daya di dalamnya. Dengan cepat hal ini terlihat paling banyak hewan mati karena mempertahankan daerah teritori: sering hasilnya bahwa daerah teritori itu sendiripun menjadi sumber daya. Interferensi dapat juga terjadi diantara organisme hewan lunak. Sebagai contoh, kehadiran kerang remis di bebatuan mencegah remis lainnya menempati posisi yang sama, bahkan meskipun suplai makan mereka pada posisi tersebut mungkin berlebih. Sesungguhnya, interferensi paling tersebar luas diantara hewan lunak dan tumbuhan yang hidup di tepian bebatuan: mereka kadang-kadang bersaing melalui kelebihan pertumbuhan satu individu oleh individu lainnya. Pada kasus tertentu efek persaingan cenderung nyata, dimana dalam banyak kasus eksploitasi, pengaruhnya kadang lebih samar. Dalam praktiknya, interferensi hampir selalui diikuti oleh suatu elemen eksploitasi, meskipun tentu saja terdapat banyak kasus eksploitasi terjadi tanpa interferensi.

Karakteristik ketiga dari persaingan intraspesifik ialah bahwa individu yang berkompetisi berada pada keseimbangan keberadaan, namun dalam praktiknya jauh lebih sedikit dari itu. Bukti nyata bahwa individu telah diklasifikasi dalam spesies yang sama menyiratkan bahwa mereka banyak memiliki ciri fisik mendasar pada umumnya, mereka pasti berharap menggunakan sumber daya yang sama dan bereaksi terhadap kondisi kebanyakan dengan cara yang sama pula. Namun kita harus waspada sejauh mana kita menekan pemikiran bahwa pengaruh antara individu yang bersaing bersifat dua arah. Terdapat banyak penempatan ketika persaingan antar individu sejenis hanya satu sisi: organisme yang kuat lebih dulu menghasilkan benih mungkin akan membayangi organisme pengganti yang tumbuh belakangan, dan briozoan yang lebih tua dan lebih lebar di tepian mungkin akan mengalami kelebihan pertumbuhan (atau namun lebih baik tumbuh berlebihan) daripada briozoan yang lebih kecil dan lebih muda. Lebih lanjut, perbedaan sifat yang diwarisi antara individu tentu saja memastikan bahwa interaksi kompetitif tidaklah bersifat dua arah. Contohnya genotif tinggi pada jagung biasanya akan mendominasi dan menutupi genotif pendek dari spesies yang sama. Karena itu kita tidak dapat mengatakan bahwa individu yang bersaing dari spesies yang sama berimbang secara keseluruhan. Apa kita dapat mengatakan bahwa anggota spesies yang sama lebih mirip daripada anggota spesies berbeda membutuhkan sumber daya yang sama, dan mereka lebih mirip bereaksi secara dua arah terhadap kehadiran satu sama lain.

Kekurangan ekuivalensi tertentu ini berarti bahwa pengaruh utama dari persaingan jauh dari kesamaan atau perbedaan individu. Pesaing yang lemah hanya bisa memberikan kontribusi kecil terhadap generasi selanjutnya, atau tidak tidak berkontribusi sama sekali. Pesaing yang kuat bisa memiliki kontribusinya yang pengaruhnya diabaikan. Sesungguhnya, pesaing yang kuat sebenarnya dapat membuat kontribusi proporsional yang lebih luas ketika terdapat persaingan hebat ketimbang tidak ada persaingan sama sekali (misalnya, jika ia mempertahankan kontribusinya sedangkan sekitarnya telah kehilangan kontribusinya). Dengan kata lain, walaupun pengaruh utama dari persaingan adalah menurunnya hasil reproduksi, ini tidak selalu berarti bahwa menurunkan potensi individual (misal kontribusi relatif), khususnya bukan untuk pesaing yang paling kuat. Karena itu, hal tersebut belum tentu benar untuk menyatakan bahwa persaingan berpengaruh merugikan terhadap semua individu yang sedang bersaing.

Terakhir, karakteristik keempat persaingan intraspesifik ialah bahwa efeknya pada individu lebih hebat, terdapat lebih banyak pesaing. Efek persaingan antar individu sejenis karenanya dikatakan menjadi kepadatan-ketergantungan. Untuk melihat lebih dekat mengenai persaingan antar individu sejenis, kita harus menguji efek kepadatan populasi terhadap individu, dan merinci efeknya terhadap kematian, kelahiran dan pertumbuhan.

MEMAHAMI TAHAP PERKEMBANGAN KEMAMPUAN BERPIKIR UNTUK MENCIPTAKAN KURIKULUM YANG BERORIENTASI PADA PENINGKATAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS SISWA

Pendahuluan
Kurikulum adalah perangkat mata pelajaran dan program pendidikan yang diberikan oleh suatu lembaga penyelenggara pendidikan yang berisi rancangan pelajaran yang akan diberikan kepada peserta pelajaran dalam satu periode jenjang pendidikan.Kurikulum sebaiknya disusun berdasarkan tahapan perkembangan berpikir peserta didik.Kemampuan berpikir bila ditinjau dari sisi biologis tidak dapat terlepas dari perkembangan otak yang terdiri dari beberapa tahapan perkembangan. Adapun tahap-tahap perkembangan kemampuan berpikir manusia dapat dibedakan menjadi 7 tahap, yaitu: (1) Membangun suatu pemahaman, (2) Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui, (3) Meletakkan benda-benda secara bersamaan, (4) Ide yang simultan, (5) Hubungan superordinat/subordinat, (6) Penalaran yang berkombinasi, dan (7) Berpikir fleksibel (Lowery, 1998).
Dengan memahami ketujuh tahapan perkembangan kemampuan berpikir, diharapkan kita mampu menyusun suatu kurikulum menjadi lebih baik dengan mengutamakan pada kenyataan bagaimana manusia belajar dan pada perbedaan kemampuan intelektual siswa pada semua tingkatan, mulai dari kanak-kanak sampai pada tingkat kedewasaan.
 
Perkembangan Kemampuan Berpikir
Otak merupakan organ fisik yang pada saat kelahiran diperkirakan terdiri dari sekitar 100 miliar sel. Pada saat lahir massanya diperkirakan sekitar sepertiga massa sesungguhnya. Dalam dua tahun setelah kelahiran massanya akan meningkat dua kali lipat, dan lebih dari 15 tahun kemudian kebanyakan selnya akan berkembang hingga mencapai 600.000 sinapsis (koneksi antar sel saraf otak) antara satu sel dengan sel lainnya (Lowery, 1998).
 
Segera setelah konsepsi (fertilisasi), sel – sel otak mulai berkembang dalam laju yang menakjubkan. Permulaan yang dengan hanya sejumlah kecil sel pada ujung embrio, sebanyak 250.000 sel dihasilkan permenit dalam 20 minggu, dan setelah kelahiran, sekitar 200 miliar sel otak telah terbentuk (Syaifuddin, 2007).
 
Jumlah sel otak yang dihasilkan lebih dari yang dibutuhkan individu. Kelebihan produksi merupakan cara alamiah untuk memastikan bahwa tersedia jumlah sel yang cukup selama masa perkembangan yang di dalamnya terdapat sejumlah kemampuan untuk bertahan hidup. Sebelum lahir, tugas sel – sel otak adalah mengenal tubuh yang berkembang di sekitarnya.Sel – sel melakukan hal ini dengan mengirimkan sinyal keluar melalui konektor akson dan dendrit yang menghubungkan satu sel saraf dengan sel saraf lainnya. Kira-kira setengah dari sel ini mati sebelum waktunya lahir, kebanyakan karena gagal tersambung dengan beberapa bagian tubuh yang sedang berkembang, dan yang lainnya melalui proses pemangkasan yang mengeleminasi sinapsis neural yang rusak.
 
Selama kehamilan, terutama sekitar minggu ke-20, faktor resiko seperti defisiensi vitamin, rokok, alkohol, zat kimia tertentu, atau suhu yang terlalu tinggi dapat mencegah perkembangan neural atau menyebabkan kerusakan pada neuron dan sinapsisnya. Sel – sel otak menjadi semakin banyak setelah kelahiran, namun produksi berhenti sebelum akhir dari tahun pertama kehidupan. Setelah usia satu tahun, manusia tidak pernah memperoleh sel otak lainnya. Semua sel otak akan dibutuhkan dan akan tetap berada pada tempatnya. Namun, massa otak hanya sekitar sepertiga massa otak dewasa. Otak akan membesar setelah kelahiran karena sel otak membesar dan karena jaring – jarring sinapsis antara dan beberapa sel meningkat. Sinapsis baru terbentuk dan meningkat jumlahnya dalam otak sebagai akibat dari suatu pengalaman berpikir.

Berpikir
Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan.Tiap kegiatan jiwa yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Berpikir adalah suatu aktifitas pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan.Kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang kita kehendaki (Purwanto, 2006).
 
Ciri-ciri utama dalam berpikir adalah adanya abstraksi.Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda-benda, kejadian-kejadian dan situasi-situasi yang mula-mula dihadapi sebagai kenyataan.Sebagai contoh, kita lihat sebungkus rokok, rokok itu sebuah benda yang konkrit. Jika kita pandang hanya warna bungkus rokok itu, maka warna isi kita lepaskan dari semua yang ada pada sebungkus rokok itu (bentuknya, rasanya, beratnya, baunya, dan sebagainya). Mula-mula warna itu hanya pada benda konkrit yang kita hadapi dan merupakan bagian dari keutuhan yang tidak dapat dilepaskan.Sekarang warna itu sendiri kita pandang, dan kita pisahkan dari keseluruhan bungkus rokok.Dengan demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan bahwa berpikir adalah bergaul dengan abstraksi – abstraksi.Dalam arti yang sempit, berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan pertalian antara abstraksi – abstraksi. Berpikir erat hubungannya dengan daya-daya jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian, dan perasaan. Tangapan memegang peranan penting dalam berpikir meskipun adakalanya dapat mengganggu jalannya berpikir.Ingatan merupakan syarat yang harus ada dalam berpikir, karena memberikan pengalaman-pengalaman dari pengamatan yang telah lampau. Pengertian meskipun hasil berpikir dapat memberi bantuan yang besar pula dalam suatu proses berpikir. Perasaan selalu menyertai pula, ia merupakan dasar yang mendukung suasana hati, atau sebagai pemberi keterangan dan ketekunan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah.
 
Kebanyakan orang menganggap berpikir (thinking) dan otak (brain) adalah kata-kata yang bersinonim.Pemikir yang baik selalu dinyatakan “brainy”. Ketika orang-orang berkata,”Brains over brawn,” maka mereka dengan jelas menyamakan “brain” dengan berpikir cerdas. Seseorang yang “brainless” dianggap sebagai orang yang tidak memiliki intelejensi. Namun meskipun demikian, berdasarkan terminologi, “brain” dan “thinking” bukanlah sinonim. Kedua kata tersebut cukup berbeda.

Tahap Perkembangan Kemampuan Berpikir
 
Dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya, manusia memasuki dunia ini dengan pemikiran sempit yang sedikit pemahamannya. Kebanyakan spesies burung, ikan, dan hewan lain terlahir dengan otak yang deprogram dengan informasi yang membuat mereka mampu bertahan hidup, mencari makanan dari alam, dan menghasilkan keturunan mereka. Sebagai contoh, beberapa burung yang bermigrasi dapat berjalan menuju lokasi yang tidak pernah mereka huni dengan tujuan mengubah kesempatan bertahan hidup menjadi lebih baik. Hewan lain juga berlaku sesuai dengan insting yang bebas berpikir. Namun, bayi manusia terlahir cukup tanpa pertolongan dimana ia harus membangun pengetahuannya tentang dunia dengan cara sendiri.
 
Dari sudut pandang biologi, merupakan suatu hal yang hebat bila individu tidak terlahir dengan pengetahuan awal (tanpa otak yang terprogram). Hal ini memperkuat kemampuan suatu spesies untuk bertahan hidup. Pada hakikatnya manusia menghasilkan keturunannya dalam situasi lingkungan tertentu, dan anak yang lahir akan mempelajari lingkungan melalui pengamatan dan berinteraksi di dalamnya. Bahkan hadir dalam kehidupan yang sudah dipersiapkan dengan pengetahuan awal, kita telah diberkahi dengan hadiah genetik yang luar biasa yaitu satu set kemampuan berpikir yang diprogram muncul berjarak dari waktu kelahiran. Kekuatan kemampuan ini terletak bahwa kemampuan ini memperbolehkan kita untuk belajar bagaimana bertahan hidup di lingkungan secara praktis.
 
Kemampuan ini seperti suatu seri peta transparan yang bertumpuk ke atas satu demi satu untuk menggambarkan suatu peningkatan kompleksitas permukaan, jalan, kota, rel kereta api, dan benua. Namun kemampuan yang dijelaskan dalam hal ini berupa peta tanpa konten/isi: judul, menggambarkan apa, dan kualitasnya tidak serta merta ada pada peta ini. Interaksi individual dengan lingkungannya secara bertahap akan terisi dan menjadi konten, awalnya pada satu peta dan kemudian pada peta lainnya.
 
Berdasarkan penjelasan di atas, selanjutnya, dapat dibedakan tahapan berpikir dan belajar menjadi 7 tahapan (Lowery, 1998), yaitu:
Tahap 1 : Membangun suatu pemahaman
Cara berpikir dibangun selama tahap perkembangan kognitif pertama yang didapat melalui melakukan aktivitas “memperhatikan sesuatu” oleh anak. Ketika objek yang diberikan dimainkan, anak akan menjelajahi kemampuan “sesuatu pada satu waktu” mereka, diperagakan oleh tampilan perseptual mereka. Ketika anak telah selesai memperhatikan secara menyeluruh suatu benda, biasanya benda tersebut akan dibuang. Kemampuan berpikir pada tahapan ini lebih terutama kemampuan sensorik, dan tindakannya dilakukan terhadap satu objek pada satu waktu, tindakannya seperti melihat benda tersebut dan memperhatikan aspek warna, ukuran, dan bentuk; menyentuhnya dan merasakan tekstur dan kelenturannya; menekan, menarik, atau melempar benda tersebut dan menandai bagaimana benda tersebut menanggapi perlakuan; merasakan benda tersebut menandai rasanya, kelenturannya, dan teksturnya. Pengalaman ini menghasilkan suatu pemahaman fundamental yang berguna bagi tahapan selanjutnya. Secara biologis, kita menjalani tahapan membangun pemahaman mengenai lingkungan ini selama tiga tahun. Sebagai tambahan, otak didesain untuk mengkode kata dengan mudah di usia-usia permulaan kita. Anak akan mengkode sekitar 10 kata baru setiap hari selama usia dua sampai lima tahun. Balita dengan aktif dan giat membangun konsep dan mengelompokkan konsep tersebut menjadi kata-kata. Bahkan pada tahap awal ini, anak – anak dapat dilihat dengan sengaja menunjukkan proses inkuiri yang berkontribusi membangun pemahaman personal anak.

Tahap 2 : Membandingkan hal yang diketahui dan yang tidak diketahui
Tahap kedua dari perkembangkan kognitif mulai terjadi pada usia sekitar 3 tahun. Sekarang, ketika anak berpikir tentang suatu benda dan melakukan sesuatu terhadap benda itu, si anak akan mengelompokkannya berdasarkan bentuk, ukuran, warna, atau berdasarkan kriteria dasar lainnya. Rasional anak dalam mengelompokkan berasal dari pemahaman yang ia peroleh dari pengalaman sebelumnya. Dari tindakan ini, si anak membangun suatu konstruksi pemahaman mental tentang dunia dan bagaimana benda dan peristiwa saling berhubungan. Semua pemikiran si anak terbentuk oleh kemampuannya mencocokkan dua buah benda secara bersamaan berdasarkan dasar-dasar suatu atribut-atribut yang umum, atau mengkaitkan dua peristiwa berdasarkan dasar-dasar suatu hubungan. Hal ini berlanjut menjadi cara yang dominan saat anak berpikir dan menyelesaikan masalah sampai usia sekitar 6 tahun. Tahapan kemampuan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam membandingkan satu tindakan dengan tindakan lainnya, atau mengelompokkan benda secara berpasangan  berdasarkan dasar-dasar dari suatu properti seperti warna, bentuk, atau ukuran. Pemahaman ini selanjutnya menghasilkan perkembangan lebih lanjut dalam mengelompokkan sesuatu secara berpasangan.

Tahap 3 : Meletakkan benda-benda secara bersamaan
Tahapan selanjutnya dari perkembangan kognitif dimulai di usia 6 tahun sampai dengan 8 tahun. Susunan yang dibuat oleh anak akan dipergunakan dalam suatu set. Saat mengelompokkan benda, anak akan memberikan suatu aturan yang logis yang berlaku bagi semua benda dalam set tersebut. Kemampuan memilah pada tahapan ini terbentuk oleh kemampuan anak dalam mengelompokkan semua benda berdasarkan ciri-ciri dasar yang umum dari suatu atribut. Bila pengalaman awal telah banyak, anak-anak pada tahap ini telah masuk pada tahap pemahaman benda-benda yang mungkin untuk membangun suatu bangunan objek. Mereka memilah benda-benda untuk meningkatkan pemahaman. Namun, masing-masing pemilahan objek selalu berdasarkan ciri-ciri dari suatu benda, karena anak belum dapat memadukan  satu ciri-ciri dasar suatu benda pada satu waktu.  

Tahap 4 : Ide yang simultan
Saat anak-anak menunjukkan pemikirannya, hal ini menunjukkan bahwa mereka telah mampu memadukan lebih dari satu ide pada satu waktu, mereka telah memasuki tahap keempat dari perkembangan kognitifnya. Pada sebagian besar anak, tahap ini terjadi di usia 8 tahun dan berlanjut hingga usia 11 tahun. Pada tahap ini, siswa mampu mengklasifikasi suatu objek ke dalam lebih dari satu kategori dalam waktu yang bersamaan menjadi satu kategori berdasarkan dua atau lebih keadaan yang simultan. Siswa menyadari kesinambungan keadaan ini tidak terlepas dari objek dimana objek yang sekaligus berwarna coklat dan berbentuk persegi pada satu waktu lebih baik dari pada berwarna coklat lalu menjadi persegi. Susunan objek dan ide pada tahap berpikir ini menjadi lebih kompleks.
Walaupun anak-anak yang berusia lebih muda dapat menghasilkan hasil yang dicontohkan pada tahap ini, namun cara mereka untuk melakukannya cukup berbeda. Sebagai contoh, anak yang lebih kecil mungkin saja memilah dan mengelompokkan objek pertama berdasarkan warnanya, kemudian selanjutnya berdasarkan bentuknya. Sementara anak yang usianya lebih tua akan memilih objek yang benar dari kedua property sebelum memindahkannya.

Tahap 5 : Hubungan superordinat/subordinat
Berpikir tentang hubungan diantara objek-objek dan suatu konsep superordinatnya merupakan indicator dari tahapan perkembangan ini. Tahapan ini muncul di usia 11 tahun. Seperti berpikir menyadari bahwa satu kumpulan objek termasuk dalam kumpulan objek yang lainnya, kemudian semua objek dalam kelompok yang lebih kecil merupakan bagian dari kelompok yang lebih besar. Kebalikannya, satu bagian dari kelas yang lebih luas terdiri dari semua kelas yang lebih kecil. Terdapat pengakuan bahwa keseluruhan sama dengan jumlah dari bagian-bagiannya. Hal ini merupakan contoh bahwa kelompok besar tidak akan pernah ada tanpa adanya kelompok-kelompok kecil.

Tahap 6 : Penalaran yang berkombinasi
Tahapan berikutnya berlangsung pada usia 14 tahun, dimana siswa menjadi lebih fleksibel dalam berpikir. Seseorang yang berada pada tahapan ini mampu mengelompokkan benda-benda berdasarka satu atribut atau lebih, kemudian mampu mengelompokkan ulang dengan cara yang berbeda, menyadari bahwa masing-masing cara mungkin untuk dilakukan pada waktu yang bersamaan, dan bahwa bagaimana cara mengelompokkan tergantung pada tujuan seseorang.

Tahap 7 : Berpikir fleksibel
Tahapan ketujuh ini muncul sekitar usia 16 tahun, siswa mampu membangun suatu kerangka berpikir suatu rasional logika mengenai hubungan di antara benda-benda atau di antara ide-ide yang ada, sedangkan pada saat yang sama menyadari bahwa susunan yang ada merupakan salah satu dari kemungkinan susunan yang bisa muncul dan mungkin berubah. Ciri utama dari tahap ini secara individual mampu mengelompokkan  dan mengelompokkan ulang benda atau ide menjadi suatu hirarki hubungan bertingkat.

Berpikir Kritis
Tidak dapat dipungkiri kalau sistem pendidikan seperti ini akan mematikan kreativitas, sikap kritis dan potensi siswa. Pendidikan justru membawa para siswa menjadi ‘jauh’ dari lingkungannya, tidak peka terhadap lingkungannya sendiri karena hanya mementingkan hal-hal yang bersifat akademis dan materiil. Pelajaran-pelajaran hanya diberikan secara teoritis belaka tanpa ditelaah secara mendalam dan mengkritisinya serta diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaranpelajaran tersebut tidak bermanfaat (Mustadji, 2004).
 
Salah satu kelemahan utama pendidikan kita adalah tidak membangun kesadaran kritis siswa dalam belajar. Kita lebih banyak menjejalkan pengetahuan ke dalam otak siswa tanpa mau tahu apakah pengetahuan yang kita berikan diserap dengan baik atau tidak karena kita hanya menuntut mereka untuk menghafalkan apa yang kita berikan. Tidak heran kalau siswa sering kali menjawab “tidak tahu” jika guru bertanya sesuatu yang baru saja diajarkan kepada mereka. Dalam taxonomi Bloom tingkat belajar yang paling rendah adalah menghafal dan ini sudah menjadi pola belajar siswa kita bahkan sampai tingkat mahasiswa sekalipun. Bagaimana mungkin otak mereka mampu menyerap secara mendalam ilmu pengetahuan yang kita berikan karena terlalu banyaknya bahan pelajaran yang kita berikan, dengan demikian pengetahuan itu tidak sempat mengendap dan dicerna dengan baik. Apa yang dilakukan oleh para guru selama ini adalah sesuatu yang sia-sia. Sungguh keprihatinan yang luar biasa karena pekerjaan mulia para guru ini kurang bermanfaat bagi perkembangan anak didik.
 
Seseorang yang telah mencapai kesadaran kritis akan dapat berpikir kritis, tidak membeo saja, tetapi dapat melontarkan pertanyaan dan tanggapan kritis. Kita membutuhkan orang-orang yang mampu berpikir kritis untuk dapat menjawab tantangan masa depan pada era globalisasi yang serba tidak pasti dan berubah sangat cepat. Berpikir kritis mencakup seluruh proses mendapatkan, membandingkan, menganalisis, mengevaluasi, internalisasi dan bertindak melampaui ilmu pengetahuan dan nilai-nilai. Berpikir kritis bukan sekedar berpikir logis sebab berpikir kritis harus memiliki keyakinan dalam nilai-nilai, dasar pemikiran dan percaya sebelum didapatkan alasan yang logis dari padanya (Steven D. Schafersman dalam Muwarni, 2006). Berpikir kritis berarti berpikir tepat dalam pencarian relevansi dan andal tentang ilmu pengetahuan dan nilai-nilai tentang dunia. Berpikir kritis adalah berpikir yang beralasan, reflektif, bertanggung jawab dan terampil berpikir yang fokus dalam pengambilan keputusan yang dapat dipercaya. Seseorang yang berpikir kritis dapat mengajukan pertanyaan dengan tepat, memperoleh informasi yang relevan, efektif dan kreatif dalam memilah-milah informasi, alasan logis dari informasi, sampai pada kesimpulan yang dapat dipercaya dan meyakinkan tentang dunia yang memungkinkan untuk hidup dan beraktifitas dengan sukses di dalamnya. Adalah tidak mungkin untuk mendapatkan aktualisasi diri tanpa melatih berpikir kritis. Kebiasaan berpikir kritis itu tidak akan terjadi tanpa didahului oleh kesadaran kritis.
 
Dalam konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa hal (Soedijarto, 2004), diantaranya adalah (1) mendapat latihan berfikir secara kritis dan kreatif untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan bijak, misalnya luwes, reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak putus asa, mau bekerjasama dan lain lain, (2) mengaplikasikan pengetahuan, pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4) mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5) meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek mereka, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan kritik.
 
Pengembangan Kurikulum yang Berorientasi pada Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa
Sekolah adalah lembaga sosial yang keberadaannya sebagai bagian dari sistem sosial negara bangsa sangat strategis sejak industrialisasi dan gerakan negara kebangsaan pada abad ke-19, yang melahirkan negara-negara kebangsaan seperti Amerika Serikat, Britania Raya, Jerman, Perancis, Italia, maupun Jepang. Para pendiri Republik nampaknya terilhami oleh perkembangan negara-negara kebangsaan tersebut yang, dalam sejarahnya merupakan proses menjadi satunya kerajaan-kerajaan kecil dari masing-masing negara tersebut, mengamanatkan perlunya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan kebudayaan nasional melalui diselenggarakannya satu sistem pengajaran nasional (sekolah). Para pendiri Republik sadar akan adanya jurang antara kondisi yang dicita-citakan yaitu masyarakat negara kebangsaan yang modern dan demokratis yang berdasarkan Pancasila dengan kondisi perkembangan masyarakat Indonesia pada saat proklamasi. Karena itu harapan terbesar dari suatu masyarakat yang melakukan transformasi budaya adalah menjadikan sekolah sebagai pusat pembudayaan berbagai kemampuan, nilai, dan sikap dari warga masyarakat moderen. Dalam mengemban peranan sekolah sebagai pusat pembudayaan inilah kedudukan kurikulum sangatlah strategis. Karena proses pembudayaan berbagai kemampuan nilai, dan sikap itu hanya dapat berlangsung melalui proses pembelajaran yang bermakna sebagai proses pembudayaan. Proses pembelajaran yang demikian hanya akan terjadi secara efisien, dan efektif melalui suatu sistem kurikulum yang dirancang secara sistematik sejak penentuan tujuan yang harus dicapai, materi yang harus dipelajari, proses pembelajaran yang harus diterapkan, dan sistem evaluasi yang harus dikembangkan dan dilaksanakan.
 
Menurut Nuryanti (2008), kalau kita kaji secara mendalam tujuan pendidikan yang selama ini dirumuskan, dalam berbagai UU pendidikan nasional kita, akan menemukan betapa pendidikan nasional diharapkan untuk dapat melahirkan manusia Indonesia yang : (1) religius dan bermoral; (2) yang menguasai ilmu pengetahuan dan ketrampilan; (3) yang sehat jasmani dan rohani; dan (4) yang berkepribadian dan bertanggung jawab. Keempat karakteristik manusia yang dirumuskan dalam berbagai Undang-Undang Pendidikan Nasional tersebut hakekatnya karakteristik yang bersifat universal, yang masih perlu diterjemahkan kedalam rumusan yang operasional dan terkait dengan perkembangan masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya. Wujud nyata dari setiap karakteristik tersebut akan berbeda dalam suatu tingkat perkembangan masyarakat dan tingkat pendidikan. Karena itu dalam menterjemahkan keempat karakteristik tersebut ke dalam rumusan wujud kemampuan, nilai, dan sikap yang dapat dijadikan rujukan dalam proses perencanaan kurikulum perlu dipahami tingkat dan arah perkembangan masyarakat Indonesia.

Proses Pembelajaran yang berorientasi pada peningkatakan kemampuan berpikir kritis
Proses Pendidikan Kritis, menurut Mansour Fakih (dalam Muwarni, 2006) adalah suatu penyelenggaraan belajar-mengajar, merupakan proses pendidikan kritis harus mencerdaskan sekaligus bersifat membebaskan pesertanya untuk menjadi pelaku (subjek) utama, bukan sasaran perlakuan (objek), dari proses tersebut. Artinya bahwa siswalah yang aktif untuk mencari pengetahuannya dan menentukan apa yang ingin dipelajari dan, guru berfungsi memfasilitasi siswa.
 
Ciri-ciri pokok dari pembelajaran yang membangun kesadaran kritis, yaitu: (1) Belajar dari realitas atau pengalaman: yang diajarkan bukan ajaran (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, dsb) tetapi realitas nyata. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung bukan pada retorika teoritik, (2) Tidak menggurui: guru dan murid samasama belajar, dan (3) Dialogis : prosesnya bukan bersifat satu arah tetapi lebih pada diskusi kelompok, bermain peran dsb dan menggunakan media (peraga, grafik, audio visual, dsb) yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang.
 
Panduan proses belajar harus disusun dan dilaksanakan dalam suatu proses yang dikenal sebagai “daur belajar dari pengalaman yang distrukturkan” (structural experiences learning cyrcle) agar pendidikan kritis dapat dicapai dalam pembelajaran. Proses ini memungkinkan setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran kritis dengan cara terlibat didalamnya secara langsung ataupun tidak. Proses yang melibatkan setiap orang yang belajar itu adalah: (1) Rekonstruksi: yaitu menguraikan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian, dll). Ini tahap proses mengalami, menggali pengalaman dengan cara melakukan kegiatan. Apa yang dilakukan dan dialami adalah mengerjakan, mengamati, melihat dan mengatakan sesuatu. Pengalaman ini yang menjadi titik tolak proses belajar selanjutnya; (2) Ungkapkan: setelah mengalami, maka tahap berikutnya yaitu proses mengungkapkan/menyatakan kembali apa yang sudah dialami, bagaimana tanggapan, kesan atas pengalaman tersebut; (3) Analisis: yaitu mengkaji sebab dan kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut yaitu tatanan, aturan-aturan, system dari pokok pembahasan; (4) Kesimpulan: yaitu merumuskan makna atau hakekat dari apa yang dipelajari, sehingga terjadi pemahaman baru yang lebih utuh, berupa prinsip-prinsip, kesimpulan umum dari kajian atas pengalaman; (5) Tindakan: tahap akhir dari daur belajar ini adalah memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan pemahaman atau pengertian atas realitas tersebut, sehingga ada kemungkinan menciptakan realitas baru yang lebih baik. Langkah ini diwujudkan dengan cara merencanakan tindakan dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip yang telah disimpulkan. Proses pengalaman belumlah lengkap, sebelum didapatkan ajaran baru, pengalaman baru, penemuan baru yang dilaksanakan dan diuji dalam perilaku yang sesungguhnya, dalam penerapan ini juga menimbulkan pengalaman baru. 
 
Proses pendidikan kritis untuk menumbuhkan kesadaran kritis, akan tercapai jika guru menempatkan diri sebagai fasilitator yang siap untuk melayani siswa dalam belajar, bukan untuk menggurui dan berlaku sebagai satu-satunya sumber ilmu dan kebenaran. Dengan lebih banyak menggunakan metode ilmiah dan eksperimen agar siswa sebanyak mungkin merasakan dan mengalami dalam suasana yang dialogis.

DAFTAR PUSTAKA
Lowery, L. F. 1998. The Biologycal Basis of Thinking and Learning. Barkeley: Lawrence Hall of Science-University of California.

Munir. 2004. Kurikulum Berbasis TIK. Bandung: SPS Universitas Pendidikan Indonesia.
 
Murwani, E. D. 2006. Peran Guru dalam Membangun Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Jurnal Pendidikan Penabur 6(1) hal. 59 – 68.
 
Mustaji. 2004. Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pembelajaran. Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Surabaya.
 
Nuryanti. 2008. Filsafat Pendidikan Islam Tentang Kurikulum. Jurnal Hunafa 3(5) hal. 329-338
 
Purwanto, N. M. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Remaja Rosdakarya.
 
Rahmawati, T. D. 2009. Kompetensi Berpikir Kritis dan Kreatif dalam Pemecahan Masalah Matematika Di SMP Negeri 2 Malang. Diakses pada September 2012.
 
Soedijarto. 2004. Kurikulum, Sistem Evaluasi, dan Tenaga Pendidikan sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional. Jurnal Pendidikan Penabur No. 03 hal. 89 – 107.
 
Syaifuddin. 2007. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC Buku Kedokteran.
 
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran. 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Raja Grafindo Persada.

UJIAN NASIONAL: ANTARA MADU DAN RACUN



Ujian Nasional (UN), suatu kebijakan standardisasi kemampuan akademik di Indonesia, merupakan topik yang selalu menjadi pembicaraan hangat beberapa tahun terakhir. Di satu sisi, UN memberikan standar evaluasi atas hasil belajar siswa selama belajar di setiap jenjang pendidikannya dalam skala nasional (SD, SMP, dan SMA). Namun, di sisi lain, UN menjadi momok menakutkan bagi para pesertanya, para guru, bahkan untuk kepala sekolah sendiri. Siswa yang memiliki sedikit persiapan akan menjadikan UN sebagai ajang sakral. Persiapan yang dilakukan bukanlah penguasaan materi yang akan diujikan, namun persiapan bersifat penguatan psikologis, seperti maraknya zikir akbar yang diadakan sekolah-sekolah menjelang berlangsungnya UN. Persiapan lainnya juga dapat dilihat dengan melacak “sumber kunci jawaban” baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam lingkungan sekolah pelaksana. Tidak sedikit peserta UN yang berani membayar sejumlah uang untuk mendapatkan kunci jawaban yang belum tentu kebenarannya. Sementara bagi guru, UN menjadi kunci keberhasilan kegiatan mengajar sepanjang tahun pembelajaran, gengsi bila ada siswa yang tidak lulus pada bidang studi yang diajarkannya. Maka, sang guru pun tak sungkan memberikan jawaban pada peserta UN, bahkan tak jarang terjadi, sang guru tak mengindahkan keberadaan pengawas ujian. Tak ubahnya dengan kepala sekolah, sudah menjadi rahasia umum, akan berupaya maksimal untuk meluluskan siswanya dalam setiap Ujian Nasional dengan berbagai cara. Kepala sekolah yang memimpin sekolah dengan persentase kelulusan yang rendah harus bersiap-siap angkat kaki dari sekolah tersebut untuk dipindahtugaskan ke sekolah lain karena dianggap gagal dalam menjalankan tugasnya.

Rabu, 08 Mei 2013

REAKSI ENZIMATIS PADA PEMBUATAN KECAP

Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam dan bumbu untuk meningkatkan cita rasa makanan. Untuk mengambil sari-sari kedelai pada proses pembuatan kecap diperlukan teknik pemecahan atau perombakan zat-zat yang terdapat dalam kedelai dengan proses fermentasi.

Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbentuk tersebut diantaranya karbondioksida (CO2) (Herlina, 2002). Menurut Nurmalis (2008), pada prinsipnya fermentasi merupakan proses penguraian substrat organik yang komplek menjadi komponen-komponen yang lebih sederhana dengan adanya aktivitas enzim dan mikroba dalam keadaan yang terkontrol. Berdasarkan sumber mikroba yang berpengaruh dalam fermentasi, fermentasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu fementasi spontan dan fermentasi tidak spontan. Fermentasi spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya tidak ditambahkan mikroba dalam bentuk starter tetapi mikroba yang berperan aktif dalam proses fermentasi berkembang biak secara spontan karena lingkungan hidupnya yang dibuat sesuai dengan pertumbuhannya, sedangkan fermentasi tidak spontan terjadi pada makanan yang dalam pembuatannya ditambahkan mikroba dalam bentuk kultur atau starter. Mikroba tersebut akan berkembang biak dan aktif dalam mengubah bahan yang difermentasi menjadi produk yang diinginkan (Fardiaz, 1992)

Pada proses fermentasi terjadi pemecahan karbohidrat menjadi alkohol dan karbondioksida (CO2). Namun banyak proses yang disebut fermentasi tidak selalu menggunakan substrat karbohidrat sebagai media fermentasi yang menghasilkan alkohol dan karbondioksida (CO2) saja. Selain karbohidrat, protein dan lemak juga dapat dipecah oleh mikroba atau enzim tertentu untuk menghasilkan asam amino, asam lemak dan zat-zat lainnya. Terdapat dua tahap fermentasi untuk membuat kecap. Jenis kapang yang baik untuk pembuatan kecap ada dua macam yaitu Aspergillus wentii dan Aspergillus oryzae.

Pada tahap fermentasi yang pertama, kapang yang diharapkan tumbuh pada kedelai adalah berwarna putih (miseliumnya) dan apabila sudah tua berubah menjadi berwarna coklat sampai hitam kopi. Untuk menghasilkan kecap yang baik sekali harus digunakan kapang jenis Monilia sitophila (Neuspora sitophila) yang berwarna jingga. Biji kedelai dapat diubah oleh kapang menjadi zat-zat protein sederhana (pepton, peptida dan asam-asam amino) dan karbohidrat sederhana (maltosa, glukosa dan galaktosa).

Selama proses fermentasi pertama, kapang memproduksi enzim yang memecah komponen zat-zat dari kedelai, tetapi pemecahan ini belum sempurna. Berbagai jenis asam amino glutamat dan garam-garamnya yang memberi rasa khas kecap belum bisa terlarutkan dalam air. Dengan demikian fermentasi pertama harus dihentikan agar tidak menimbulkan efek samping yang merugikan, sebab bila berlanjut akan mengundang bakteri pembusuk lainnya yang tidak diinginkan.

Untuk mengambil sari-sari zat dalam  kedelai sehingga dapat terlarutkan dalam air sebanyak-banyaknya, maka dilakukan fermentasi tahap kedua yang disebut fermentasi moromi. Pada tahap ini dilakukan di dalam larutan air garam 20%-30%. Dalam fermentasi ini mikroba yang aktif adalah sejenis bakteri (Lactobacillus sp. dan Zygosaccharomyces sp.) atau dari golongan khamir (Hansenulla sp.).

Pada fermentasi ini kedelai yang telah mengalami proses koji dicampur dengan larutan garam dan difermentasi selama 1 minggu sampai 4 bulan (Panghegar, 1989). Selama fermentasi garam, mikroba yang berperan adalah Zygosaccharomyces dan Hansenula (khamir) serta Lactobacillus (bakteri) (Koswara, 1992). Konsentrasi garam yang digunakan biasanya sekitar 20-25% (Krisno, 1990). Selama proses moromi biasanya selalu dilakukan proses pengadukan setiap harinya (Suriadi, 1992). Hal ini dilakukan untuk menjaga keseragamankonsentrasi garam, merangsang pertumbuhan bakteri, dan mencegah terjadinya pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan, terutama mikroba pembusuk (Wibowo, 1990). Pada fermentasi garam terjadi perubahan-perubahan fisik dan kimia yang merupakan lanjutan dari proses koji. Enzim yang dikeluarkan oleh kapang masih bekerja terus, sedangkan kapangnya sendiri mati dalam lingkungan garam. Aktifitas enzim ini memengaruhi kandungan protein, kadar nitrogen terlarut, dan gula pereduksi pada moromi yang dihasilkan. Total nitrogen terlarut dan formol nitrogen mengalami peningkatan selama satu bulan fermentasi. Apabila fermentasi dilanjutkan ternyata tidak menunjukkan banyak perubahan (Wijaya, 1988).

Rasa atau flavor terbentuk saat proses fermentasi moromi yaitu tahap fermentasi dalam larutan garam 20% (Koswara, 1997). Faktor yang berpengaruh terhadap kualitas rasa kecap yaitu proses fermentasi kapang, karena pada proses ini kapang akan mengeluarkan enzim yang memecah substrat menjadi senyawa terlarut. Kadar senyawa terlarut tersebut menentukan rasa kecap. Penambahan garam dalam proses fermentasi moromi berfungsi untuk menarik senyawa nitrogen terlarut yang ada dalam koji ke dalam larutan garam supaya kecap yang dihasilkan enak. Rasa spesifik kecap juga ditentukan oleh jenis bumbu yang digunakan dan penambahan gula kelapa, sehingga dengan komposisi bumbu yang berbeda akan memberikan rasa yang berbeda juga. Bakteri asam laktat akan tumbuh pada awal fermentasi, memproduksi asam laktat dan menurunkan pH moromi (Rahayu dkk., 1993). Salah satu faktor yang menguntungkan dari pertumbuhan bakteri ini adalah terbentuknya rasa pada kecap. Penurunan pH fermentasi juga dapat menstimulasi pertumbuhan khamir yang penting dalam pembentukan rasa kecap (Rahayu dkk, 2005).

Selama fermentasi moromi, mikroba yang paling berperan adalah Tetragenococcus halophila dan fermentasi asam laktat adalah bakteri halofilik dan khamir Zygosaccharomyces rouxii (Roling, 1995). Pada tahap ini tumbuh bakteri yang mampu memproduksi asam organik terutama asam laktat, suksinat dan fosfat. Asam-asam ini akanmenurunkan pH larutan garam menjadi 4,8-5,0. Selain itu khamir aktif dan merombak gula pereduksi menjadi senyawa penting dalam pembentukan flavor (Roling, 1995).

Degradasi enzimatik protein dari material sampai menjadi peptida, asam amino bebas dan amonia hampir berhenti dalam 2 atau 3 bulan, tergantung dari suhu. Karbohidrat dihidrolisis menjadi heksosa dan pentosa, dan komponen-komponen tersebut dimetabolisme sebagian menjadi sekitar 1% asam laktat dan asam organik lainnya oleh Pediococci dan sebagian lagi menjadi 2-3% etanol dan komponen minor pembentuk flavour oleh khamir. Berbagai macam pola metabolisme oleh Pediococci dalam moromi, yaitu :
  1. Homofermentasi : Glukosa menjadi 2 mol asam laktat
  2. Heterofermentasi : Glukosa menjadi 1 mol asam laktat, etanol, asam asetat, CO2, aseton dan  butanol.
  3. 67 pola aliran metabolisme untuk arabinosa, laktosa, melobiosa, mannitol dan sorbitol.
  4. Aliran metabolik untuk asam amino dan asam sitrat

Pengaruh Suhu Terhadap Fermentasi
Di Indonesia, pada fermentasi moromi dalam proses pembuatan kecap, dilakukan di ruangan terbuka yang terpapar sinar matahari. Belum ada informasi ilmiah tentang kondisi fermentasi moromi yang diletakkan di luar ruangan yang terpapar sinar matahari atau suhu moromi. Kondisi lingkungan menentukan pertumbuhan mikroorganisme bakteri asam laktat (BAL) dan yeast yang ada dalam fermentasi moromi.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa suhu pada fermentasi moromi merupakan faktor penting dalam proses aging dan menentukan kualitas kecap. Dari hasil peneltian terdahulu, peneliti menyarakan agar pada saat proses aging kecap lebih baik dipertahankan pada sushu 15ᵒC selama bulan pertama fermentasi dan bertahap dinaikkan menjadi 30ᵒC (Chou dan Ling, 1999). Kemudian, Jansen et al, (2003) menemukan bahwa produksi fusel alkohol sebagai senyawa flavor dalam kecap yang diproduksi oleh Z. rouxii juga tergantung pada suhu fermentasi. Penelitan Wu et al., (2010) menyatakan bahwa perbedaan suhu (25, 35 dan 45ᵒC) akan mempengaruhi pertumbuhan mikroflora dan reaksi kimia dalam pemecahan substrat yang akan menentukan flavor dari kecap.

DAFTAR PUSTAKA
Purwoko, T. dan Handayani, N. S. 2007. Kandungan Protein Kecap Manis Tanpa Fermentasi Moromi Hasil Fermentasi Rhizopus oryzae dan Rhizopus oligosporus. Jurnal Biodivesitas 8(2): 223-227.

Rahayu, A., dkk. 2005. Analisis Karbohidrat, Protein, dan Lemak pada Pembuatan Kecap Lamtoro Gung (Leucaena leucocephala) terfermentasi Aspergillus oryzae. Jurnal Bioteknologi 2(1): 14-20.

Rosida, D., F., dkk. 2003. Karakteristik Moromi dan Kecap Manis Serta Kajian Aktivitas Antioksidannya. Program Studi Teknologi Pangan, UPN ”Veteran” Jawa Timur.

Warintek. 2003. Kecap. http://warintek.progessio.or.id/ttg/pangan/kecap.htm. [15 April 2013].

Wu et al. 2010. Effect of Temperature on Moromi Fermentation of Soy Sauce With Intermitten Aeration. Journal of Biotechnology 9(5): 702-706.

Wulandari, A. G. 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Moromi Terhadap Kualitas Filtrat sebagai Bahan Baku Kecap. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

MARKA MOLEKULER MIKROSATELIT

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat. Pada awal 1980-an. Ditemukan teknologi molekuler yang berbasis pada DNA. Marka molekuler merupakan alat yang baik bagi pemulia dan ahli genetik untuk menganalisis genom mahluk hidup. Marka molekuler dapat diartikan pula sebagai upaya untuk membedakan karakteristik mahluk hidup pada tingkat gen. Penggunaan marka molekuler utamanya untuk memonitor variasi susunan DNA di dalam dan pada sejumlah spesies serta merekayasa sumber baru variasi genetik dengan mengintroduksi karakter-karakter yang baik.

Identifikasi galur-galur dengan bantuan marka molekuler juga sangat bermanfaat dalam analisis sidik jari (fingerprinting), karena dapat memberikan informasi untuk perencanaan program pemuliaan, terutama dalam pembentukan segregasi baru, varietas hibrida dan sintetik unggul baru serta dalam menentukan tetua yang digunakan untuk memilih pasangan persilangan baru.

Pemilihan marka molekuler yang akan digunakan dalam analisis genetic perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka. Langkah awal pelaksanaan marka molekuler adalah mengambil bagian hewan atau tumbuhan, biasany berasal dari daun-daun muda atau sel-sel embrio. Kemudian mengisolasi DNAnya dan dicari bagian yang bertanggung jawab terhadap karakter unggul pada hewan atau tumbuhan tersebut. Biasanya DNA yang diisolasi kemudian akan dihubungkan dengan bank data genetika untuk mengidentifikasi gen dan menduga karakter yang diekspresikan. Melalui marka molekuler maka kepemilikan varietas akan diperkuat dengan identitas tumbuhan atau hewannya secara spesifik dalam bentuk gambar atau karakter gen. selanjutnya informasi tersebut menjadi data pendukung deskripsi fisik yang diperoleh dari hasil observasi langsung di lapangan.

Selama ini UPOV, organisasi perlindungan varietas tanaman internasional dengan Konvensi UPOV 1978 yang diperbaharui dengan Konvensi UPOV 1991 membedakan varietas baru dengan varietas yang sudah ada menggunakan karakter morfologis. Sampai saat ini UPOV belum merekomendasikan penggunaan teknik molekuler untuk uji BUSS. Meskipun demikian, UPOV terus melakukan pengkajian penggunaan marka molekuler seperti mikrosatelit. BUSS (Baru Unik Seragam dan Stabil) merupakan persyaratan utama dalam perlindungan varietas tanaman yang harus dievaluasi melalui uji substantif, untuk membuktikan sifat kebaruan, keunikan, keseragaman, dan kestabilan dari varietas yang dimintakan hak perlindungan varietas tanamannya. Selama ini pembedaan varietas baru dengan varietas yang sudah ada dilakukan secara morfologis. Tetapi karena varietas yang dihasilkan pada umumnya memiliki tetua yang tidak berbeda jauh sehingga secara morfologis susah dibedakan. Apalagi untuk varietas tanaman yang berasal dari spesies dengan keragaman genetik yang sempit, seperti misalnya manggis, hal ini sangat sulit untuk dilakukan. Demikian pula dengan tanaman hias yang diperbanyak secara vegetatif, di mana varietas baru dapat diperoleh dari pemuliaan konvensional melalui persilangan dan seleksi atau  variasi yang terjadi secara spontan atau melalui induksi dari varietas asal.
   
MEKANISME KERJA MIKROSATELIT

Mikrosatelit yang juga sering disebut dengan SSR merupakan alat bantu yang sangat akurat untuk membedakan genotipe, evaluasi kemurnian benih, pemetaan, dan seleksi genotip untuk karakter yang diinginkan. Mikrosatelit tergolong sebagai penanda molekuler yang sangat efektif, yakni sekuen DNA yang bermotif pendek dan diulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit basa nukleotida (dikenal sebagai motif) yang tersebar dan meliputi seluruh genom.

Motif ini misalnya urutan ATT (tri nukleotida) yang kemudian diulang 9-30 kali (ATTATTATTATTATTATTATTATTATTATT). Marka ini sangat berguna sebagai marka genetik karena bersifat kodominan sehingga tingkat heterozigositasnya tinggi yang berarti memiliki daya pembeda antar individu sangat tinggi serta dapat diketahui lokasinya pada DNA sehingga dapat mendeteksi keragaman alel pada level yang tinggi, mudah dan ekonomis dalam pengaplikasiannya karena menggunakan proses PCR.

SSR memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi stabil secara somatik dan diwariskan secara Mendelian oleh karena potensi SSR dalam melakukan kesalahan replikasi yang mengakibatkan bertambahnya pengulangan basa nukleotida. Penambahan pengulangan ini terjadi sebanyak 103  per lokus per gamet (satu pada setiap 1000 gamet). Oleh karena itu, SSR dapat dikatakan relatif stabil sehingga dapat dijadikan marka DNA dan akan konsisten menampilkan suatu fragmen yang sama apabila menggunakan primer yang sama (Hartwell et al., 2004). Penanda SSR bersifat multialellik dan mudah diulangi, sehingga baik digunakan untuk mempelajari keragaman genetik diantara genotip-genotip yang berbeda. Selain itu SSR juga bermanfaat dalam mendeteksi tingkat heterosigositas dari genotip-genotip yang akan dijadikan sebagai calon tetua hibrida. Sedangkan kelemahan teknik ini adalah marka SSR tidak tersedia pada semua spesies tanaman, sehingga untuk merancang primer yang baru dibutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup mahal.

Isolasi marka mikrosatelit yang dilakukan hingga saat ini secara garis besar dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu: pencarian database nukleotida di Gene Bank atau enrichment library dan dual suppression. Pencarian sekuen mikrosatelit pada database nukleotida hanya pada tanaman yang telah lengkap sekuen genomnya, akan tetapi sekuen lengkap tersebut tidak tersedia pada semua jenis organisme. Oleh karena itu banyak dikembangkan metode dengan mengisolasi fragmen-fragmen mikrosatelit dengan membuat pustaka genomnya. Metode enrichment library merupakan metode yang paling banyak digunakan dan telah dimodifikasi untuk meningkatkan presentase fragmen mikrosatelit. Isolasi dengan menggunakan metode enrichment library dapat menggunakan non-probe radioaktif atau probe radioaktif.

Adapun mekanisme kerja dengan menggunakan marka molekuler mikrosatelit (berdasarkan penelitian Matra (2010) tentang Analisis keragaman genetic manggis berdasarkan karakter fenotipe dan marka molekuler mikrosatelit pada empat sentra produksi di pulau Jawa) adalah sebagai berikut:
1)    Melakukan ekstraksi DNA
2)    Melakukan pemotongan DNA genom dan ligase adaptor.
3)    Melakukan hibridisasi filter
4)    Meligasi ke vektor dan transformasi
5)    Melakukan skrining biru-putih dan koloni berfragmen mikrosatelit
6)    Mengisolasi plasmid dan proses sequen
7)    Mengkarakterisasi primer
8)    Menganalisis lokus mikrosatelit

MANFAAT DAN KEGUNAAN MIKROSATELIT

Penggunaan mikrosatelit dalam studi-studi genetic telah banyak dilakukan untuk studi genetic populasi, ekologi, pemuliaan tanaman, aliran gen (gene flow), dan keragaman genetic intraspesies maupun interspesies. Penggunaan model ikan banyak digunakan untuk studi analisis gene flow karena mudah dilakukan dan dianalisis. Penggunaan ikan dikarenakan mempunyai mobilitas yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya migrasi populasi ikan secara cepat dan lingkungan akuatik yang mudah berubah. Hal ini memungkinkan terjadinya isolasi dari populasi-populasi ikan yang bermigrasi. Penelitian yang diujikan pada ikan seatrout ini menggunakan lima jenis pasangan primer polimorfik. Hasil penelitian mampu menjelaskan asal populasi ikan yang terpisah karena topografi dengan menghitung jumlah alel spesifik yang muncul dalam populasi (Was and Wenne, 2003).

Mikrosatelit umumnya dipakai pada tanaman diploid, sedangkan manggis merupakan tanaman allotetraploid. Penggunaan mikrosatelit pada tanaman allotetraploid telah berhasil membedakan populasi tanaman alfafa. Oleh karena itu, isolasi dan karakterisasi marka mikrosatelit manggis menjadi penting dalam percepatan pemuliaan manggis sebagai tanaman apomiksis. Penggunaan lain dari marka mikrosatelit adalah dapat digunakan sebagai alat penelusuran system kekerabatan manggis (Matra, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian Lumban gaol dkk (2013), identifikasi alel pada populasi monyet ekor panjang di Alas Kedaton menggunakan lokus mikrosatelit D18S536 yang dikaji pada penelitian ini, teridentifikasi 5 jenis alel dengan frekuensi alel tertinggi (0,31) untuk alel 160, dan terendah (0,06) untuk alel 176 serta digolongkan polimorfik. Sedangkan penelitian terdahulu yang sudah dilakukan oleh Paujiah (2011/unpublished) dengan menggunakan lokus yang sama (D18S536) pada populasi monyet ekor panjang di Bedugul teridentifikasi 4 jenis alel dengan frekuensi tertinggi (0,45) untuk alel 168 dan terendah (0,1) untuk alel 172. Perbedaan jumlah alel sangat terkait dengan sejarah penyebaran dan evolusi suatu populasi atau spesies.

PENUTUP

Mikrosatelit (SSR = simple sequence repeat) merupakan salah satu marka molekuler yang berupa urutan di-nukleotida sampai tetra-nukleotida yang berulang dan berurutan. SSR merupakan marka genetik yang bermanfaat karena bersifat kodominan, dapat mendeteksi keragaman alel pada tingkat tinggi, serta mudah dan tidak terlalu mahal untuk dianalisis dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR).

DAFTAR PUSTAKA
Lumban Gaol, A. D., Suatha, I. K., dan Wandina, I. N. 2013. Struktur Genetika Populasi Monyet Ekor Panjang Di Alas Kedaton Menggunakan Marka Molekul Mikrosatelit D18S536. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus 2(1): 32 – 42.

Matra, D. D. 2010. Analisis Keragamangenetik Manggis Berdasarkan Karakter Fenotipe dan Marka Molekuler Mikrosatelit pada Empat Sentra produksi Di Pulau Jawa. Bogor: Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Moeljopawiro, S. 2010. Marka Mikrosatelit sebagai Alternatif Uji BUSS dalam Perlindungan Varietas Tanaman Padi. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.